Assalamualaikum Wr, Wb...

Silahkan kunjungi blog saya,, dan tinggalkan pesan dan komentar maupun saran saudara... okey...

Laman

Rabu, 26 Mei 2010

Muhammadiyah



Muhammadiyah[1] merupakan organisasi Islam terbesar kedua setelah Nahdlatul Ulama (NU). Organisasia yang saat ini sedang digembalai oleh Dien Syamsudin ini mempunyai tujuan utama, yakni mengembalikan seluruh penyimpangan yang terjadi dalam proses dakwah. Penyimpangan ini sering menyebabkan ajaran Islam bercampur-baur dengan kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi.
Tujuan didirikan Muhammadiyah untuk pembaharuan (tajdîd)[2] trhadap Islam, masyarakat Muslim dan syariat. Metode utama dalam setiap pembaharuan tersebut adalah dengan memberdayakan pengguanakan akal semaksimal mungkin, tetapi harus diselaraskan dengan ajaran Islam yang tertuang dalam Al-Qur'an dan Sunnah Rasul.[3]
Gerakan Muhammadiyah berciri semangat membangun tata sosial dan pendidikan masyarakat yang lebih maju dan terdidik. Menampilkan ajaran Islam bukan sekadar agama yang bersifat pribadi dan statis, tetapi dinamis dan berkedudukan sebagai sistem kehidupan manusia dalam segala aspeknya. Akan tetapi, ia juga menampilkan kecenderungan untuk melakukan perbuatan yang ekstrem.
Pentingnya pendidikan sudah jelas sekali dan sebagai sebuah gerakan social politik, Muhammadiyah terutama sangat terkemuka dalam lapangan pendidikan dan setealh memulai pembaruan dalam bidang ini sjak tahun 1920-an. Singkatnya, secara konsisten Muhammadiyah mengembangkan suatu metode untuk memahami wahyu.
Layaknya sebuah organisasi, tentunya ada dasar-dasar ideologi yang dijadikan pijakannya. Begitu juga dengan Muhammadiyah ini. Adapun dasar-dasar ideologi Muhammadiyah tertuang dalam gagasan maqashid al-Syari'ah, yakni hukum yang memiliki tujuan yang baik, yakni memberikan mashalahah atau kepentingan umum dalam pengertian yang luas. Ketika tujuan itu sudah jelas, baru kemudian dasar ideologi berikutnya adalah harus adanya objek yang harus diidentifikasi dan langsung diimplementasikan dalam kehidupan yang real. Sederhananya, ideologi yang dimafhumi oleh Muhammadiyah adalah ideologi yang dapat memberikan "kebaikan yang paling besar." Namun demikian, bukan berarti ideologi yang dimaksud di sini seperti ideolgi yang sekuler. Karena bagaimanapun juga ideologi Muhammadiyah adalah ideologi yang dibatasi oleh aturan-aturan langit, Al-Qur'an, Sunnah, dan akal manusia yang terbatas. Inilah keterbatasan-keterbatasan yang serius, ditambah dengan logika yang menyertai wahyu, di mana seseorang harus bekerja, befikir dan beramal dalam batasan-batasan wahyu. Karena itu, pendayagunaan akal, ijtihad, dibatasi oleh sumber dan teknik analisis yang telah diketahui dalam literatur fiqih.[4]
Dalam pembentukannya, Muhammadiayah banyak merefleksikan kepada perintah-perintah Al Quran, diantaranya surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung. Ayat tersebut, menurut para tokoh Muhammadiyah, mengandung isyarat untuk bergeraknya umat dalam menjalankan dakwah Islam secara teorganisasi, umat yang bergerak, yang juga mengandung penegasan tentang hidup berorganisasi. Maka dalam butir ke-6 Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah dinyatakan, melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi, yang mengandung makna pentingnya organisasi sebagai alat gerakan yang niscaya.
Sebagai dampak positif dari organisasi ini, kini telah banyak berdiri rumah sakit, panti asuhan, dan tempat pendidikan di seluruh Indonesia.

Sejarah Muhammadiyah di Indonesia
Sebagaimana dimafhumi oleh kita bahwa Muhammadiyah didirikan oleh K.H. Ahmad Dahlan di Kampung Kauman Yogyakarta pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H/18 November 1912.[5]
Niat tulus dalam mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah tiada lain adalah untuk mendukung usaha KH Ahmad Dahlan, yakni untuk memurnikan ajaran Islam yang dianggap banyak dipengaruhi hal-hal mistik. Kegiatan ini pada awalnya juga memiliki basis dakwah untuk wanita dan kaum muda berupa pengajian Sidratul Muntaha. Selain itu peran dalam pendidikan diwujudkan dalam pendirian sekolah dasar dan sekolah lanjutan, yang dikenal sebagai Hooge School Muhammadiyah dan selanjutnya berganti nama menjadi Kweek School Muhammadiyah. Di samping itu, terdapat pula organisasi khusus kalangan kaum Hawanya yang bernama Aisyiyah.[6]
Muhammadiyah, salah satu organisasi Islam terbesar yang masih eksis hingga kini, didirikan oleh KH. Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 (18 November 1912) di Yogyakarta.
Secara etimologis, Muhammadiyah berasal dari kata “Muhammad” yaitu nama Rasulullah saw yang diberi ya nisbah dan ta marbutah yang berarti pengikut Nabi Muhammad saw. Dalam Anggaran Dasar Muhammadiyah yang baru, yang telah disesuaikan dengan UU No. 8 tahun 1985 dan hasil Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Surakarta pada tanggal 7-11 Desember 1985, Bab I Pasal 1 disebutkan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan Islam dan dakwah amar ma’ruf nahi munkar yang berakidah Islam dan bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah. Muhammadiyah menentang berbagai praktik bid’ah dan khurafat. Sifat gerakan ini non politik, tetapi tidak melarang anggota-anggotanya memasuki partai politik. Bahkan KH. Ahmad Dahlan selaku pemimpinnya juga menjadi anggota Sarekat Islam.
Muhammadiyah dikenal sebagai organisasi yang telah mengembuskan jiwa pembaruan Islam di Indonesia dan bergerak di berbagai bidang kehidupan umat. Muhammadiyah memberikan titik tekan tersendiri bagi dunia pendidikan. Langkah yang diambil Muhammadiyah antara lain, (1) memperteguh iman, menggembirakan dan memperkuat ibadah, serta mempertinggi akhlak; (2) mempergiat dan memperdalam penyelidikan ilmu agama Islam untuk mendapatkan kemurniannya; (3) memajukan dan memperbarui pendidikan, pengajaran dan kebudayaan serta memperluas ilmu pengetahuan menurut tuntunan Islam; (4) menggiatkan dan menggembirakan dakwah Islam serta amar ma’ruf nahi munkar; (5) mendirikan, menggembirakan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf; (6) membimbing kaum wanita ke arah kesadaran beragama dan berorganisasi; (7) membimbing para pemuda agar menjadi orang Islam berarti; (8) membimbing ke arah kehidupan dan penghidupan sesuai dengan ajaran Islam; (9) menggerakkan dan menumbuhkan rasa tolong menolong dalam kebajikan takwa; (10) menanam kesadaran agar tuntunan dan peraturan Islam berlaku dalam masyarakat.
Pada tahun 1930-an, menjelang Perang Dunia II, pemimpin-pemimpin Muhammadiyah, di antaranya KH Mas Mansyur, Prof. Kahar Muzakir, dan Dr. Sukiman Wirjosandjoyo, mensponsori berdirinya Partai Islam Indonesia. KH. Mas Mansyur juga aktif di GAPI, bahkan diunggulkan sebagai ketua Majelis Rakyat Indonesia, yang merupakan badan parlemen dari kaum pergerakan nasional.
Sejak masa berdirinya, banyak kader Muhammadiyah yang ikut berjuang, misalnya di perang kemerdekaan. Sementara itu setelah Indonesia merdeka, mulai bergerak kembali ke berbagai bidang, selain juga terjun dalam perjuangan fisik. Sementara itu, pada zaman revolusi fisik dan demokrasi liberal, banyak anggota Muhammadiyah yang memasuki partai politik Masyumi. Dalam dunia politik, banyak tokoh Muhammadiyah berdiri di depan.
Persebaran Muhammadiyah dimulai sejak kelahirannya sampai saat ini. Sampai sekurang-kurangnya tahun 1917, penyebaran Muhammadiyah bisa dibilang masih sangat terbatas, yakni masih di daerah Kauman Yogyakarta. KH. Ahmad Dahlan sendiri selain aktif tabligh, aktif pula mengajar di sekolah Muhammadiyah, dan memberikan bimbingan kepada masyarakat untuk melakukan berbagai kegiatan seperti pengajaran shalat dan juga mengumpulkan dana dan pakaian untuk dibagikan kepada fakir miskin.
Dengan kesungguhan para kadernya, Muhammadiyah berkembang pesat. Pada tahun 1925 Muhammadiyah memiliki 29 cabang dengan 4.000 anggota. Sedangkan kegiatannya di bidang pendidikan meliputi 8 Hollands Indlandse School, 1 Sekolah guru di Yogyakarta, 32 sekolah dasar 5 tahun, 1 Schakelschool, 14 madrasah dengan 119 guru dan 4000 murid. Di bidang sosial, Muhammadiyah mencatat 2 klinik di Jogya dan Surabaya dengan 12.000 pasien, 1 buah rumah miskin, dan 2 rumah yatim piatu.
Selanjutnya, penyebaran Muhammadiyah semakin meluas lagi. Bidang pendidikan menjadi begitu melekat dengan aikon Muhammadiyah. Data pada tahun 1985 saja tercatat lembaga pendidikan Muhammadiyah berjumlah 12.400 lebih yang tersebar di seluruh tanah air, yang terdiri dari pendidikan umum dan pendidikan agama. Dari jumlah tersebut tercatat 15 universitas dan 23 perguruan tinggi. Sisanya adalah sekolah TK sampai tingkat SLTA (agama dan non agama). Sampai dengan tahun 1990, jumlah Perguruan Tinggi Muhammadiyah berkembang menjadi 78 buah.
Selain bidang pendidikan, Muhammadiyah juga mencurahkan perhatiannya untuk mendirikan poliklinik, rumah bersalin, rumah sakit, dan sekarang fakultas kedokteran. Kalau pada tahun 1922 baru ada 1 rumah sakit atau poliklinik, di tahun 1990 Muhammadiyah telah memiliki 215 rumah sakit, poliklinik dan rumah bersalin. Kini belum ada data pasti, tapi diyakini jumlahnya jauh lebih tinggi dari tahun-tahun sebelumnya.
Muhammadiyah yang berkembang dengan pesat, tak elak dari kesungguhan hati para pendiri dan kadernya. Menarik kita simak pesan KH. Ahmad Dahlan:
 “…Aku ingin berpesan pula hendaknya kamu bekerja dengan bersungguh-sungguh, bijaksana dan tetap berhati-hati, dan waspada dalam menggerakkan Muhammadiyah dan menggerakkan tenaga umat. Hal ini jangan kau kira urusan kecil. Inilah pesanku, siapa saja yang mengindahkan pesanku, tanda mereka tetap mencintai aku dan Muhammadiyah.” Selain itu beliau melanjutkan, “Adapun untuk menjaga keselamatan Muhammadiyah, maka perlulah kita berusaha dan menjalankan serta mengikuti garis khittahku; hendaklah kamu sekali-kali tidak menduakan pandangan Muhammadiyah dengan perkumpulan lain, jangan sentimen, jangan sakit hati kalau menerima celaan dan kritikan, jangan sombong, jangan berbesar hati kalau menerima pujian, jangan jubirya (ujub, kibir, riya), ikhlas dan murnikan hati kalau sedang berkorban harta benda, pikiran dan tenaga, dan harus bersungguh hati dan tetap tegak pendirianmu!

Mengenali Sosok KH. Ahmad Dahlan, Sang Pendiri Muhammadiyah
KH. Ahmad yang lahir di Yogyakarta, 1 Agustus 1868 dan wafat 23 Februari 1923 ini adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Beliau adalah putra keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga KH. Abu Bakar. KH. Abu Bakar ini adalah seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kesultanan Yogyakarta pada masa itu, dan ibu KH. Ahmad Dahlan ini adalah putrid dari Ibrahim yang juga menjabat penghulu Kesultanan Yogyakarta pada masa itu.[7]

Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan
KH. Ahmad Dahlan, ternyata pada waktu kecilnya adalah Muhammad Darwisy.[8] Ia mempunyai enam saudara, yang semuanya perempuan, kecuali adik bungsunya. Dalam silsilahnya ia termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, seorang Wali besar dan seorang yang terkemuka di antara Wali Songo dan sekaligus sebagai peolopor penyebaran dan pengembangan dakwah Islam di Tanah Jawa. Adapun silsalah secara runutnya adalah: Muhammad Darwisy (Ahmad Dahlan) bin Kh. Abu Bakar bin KH. Muhammad Sulaiman bin Kyai Murtadha in Kyai Ilyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Falullah (Prapen) bin Maulana 'Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.
Pada umur 15 tahun, beliau pergi haji dan tinggal di Mekkah selama lima tahun. Pada periode ini, Ahmad Dahlan mulai berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam Islam, seperti Muhammad Abduh, Al-Afghani, Rasyid Ridha dan Ibnu Taimiyah. Ketika pulang kembali ke kampungnya tahun 1888, beliau berganti nama menjadi Ahmad Dahlan.
Pada tahun 1903, beliau bertolak kembali ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Pada masa ini, beliau sempat berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib yang juga guru dari pendiri NU, KH. Hasyim Asy'ari. Dan akhirnya, pada tahun 1912, ia mendirikan Muhammadiyah di kampung Kauman, Yogyakarta.
Sepulang dari Mekkah, ia menikah dengan Siti Walidah, sepupunya sendiri, anak Kyai Penghulu Haji Fadhil, yang kelak diknal dengan Nyai Ahmad Dahlan, seorang Pahlawan Nasional dan pendiri Aisyiyah. Dari perkawinanna dengan Siti Walidah, KH. Ahmad Dahlan dianugerahi oleh Allah enam orang anak: Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyra Irfan Dahlan, Siti Aisyah, dan Siti Zaharah. Di samping menikahi Siti Walidah, ia juga pernah menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik Kyai Munawir Krapyak. Ia juga pernah menikahi Ibu Nyai Aisyah (adik Adjengan Penghulu) Cianjur yang bernama Dandanah, dan mempunyai anak. Ia juga pernah menikahi Nyai Yasin Pakualaman Yogyakarta. KH. Ahmad Dalan saat wafatnya dimakamkan di Karang Kajen, Yogyakarta.

Pengalaman Organisasi
Sosok KH Ahmad Dahlah dikenal sebagai Kyai yang aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah. Pun demikian, ia juga tidak lupa akan tugasnya sebagai pribadi yang mampunyai tanggung jawab pada keluarganya. Di samping itu, ia juga dikenal sebagai seorang entrepreneur yang cukup berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi entrepreneurship yang cukup membumi di masyarakat.
Sebagai seorang yang akitf dalam kegitatan bermasyarakat dan mempunyai gagasan-gagasan cemerlang, ia juga dengan sangat mudah diterima dan dihormati di tengah kalangan masyarakat, sehingga ia juga dengan cepat mendapatkan tempat di organisasi Jam'iyat al-Khair, Budi Utomo, Syarikat Islam dan Comite Pembela Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Dari pengalamannya bersentuhan dengan berbagai organisasi kemasyarakatan tersebut, akhirnya pada tahun 1912, dengan ijitihadnya Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi Nusantara. Niat tulus Ahmad Dahlan adalah ingin mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam. Ia ingin mengajak uamt Islam Indonesia untuk kembali hidup sesuai dengan tuntunan Al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini tepatnya dirikan pada tanggal 18 Nopember 1912. Dan sejak awal Dahlan telah menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat social dan bergerak di bidang pendidikan.
Setiap tindakan pasti akan menuai akibatnya. Namun yang terpeting adalah bagaimana mengatasi akibatnya itu dengan sebaik mungkin. Begitulah yang pernah dilami oleh Ahmad Dahlan saat mendirikan organisasi Muhammadiyah ini. Saat gerakan Muhammadiyah ini terbentuk, tidak bisa dielakkan, awalnya Muhammadiyah pun mendapatkan resistensi, baik dari keluarga maupun dari masyarakat sekitarnya. Berbagai fitnahan, tuduhan dan hasutan dating bertubi-tubi kepadanya. Ia dituduh hendak mendirikan agama baru yang menyalahi agama Islam. Ada juga yang menuduhnya sebagai Kyai palsu, karena sudah meniru-niru bangsa Belanda yang Kristen, dan berbagai macam tuduhan lainnya yang pernah menimpanya. Bahkan yang lebih tragis lagi adalah ia sudah direncanakan akan dibunuh oleh orang yang tidak suka padanya. Namun berkat kesungguhan dan keyakinannnya pada Allah sebagai penolongnya, akhirnya ritnangan-rintangan tersebut dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hatinya untuk menjalankan cita-cita mulia dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air ia dapat mengatasi semua rintangan tersebut.
Ketika Muhammadiyah ini sudah terbentuk, selanjutnya pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan Hukum. Permohonan itu baru dikabulkan pada tahun 1914, dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 18 tanggal 22 Agustus 1914. izin itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan organisasi ini hanya boleh bergerak di daerah Yogyakarta. Dari Pemerintah Hindia Belanda timbul kekhawatiran akan perkembangan organisasi ini. Itulah sebabnya kegiatan ini dibatasi. Walaupun Muhammadiyah dibatasi, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari dan Imogiri dan tempat-tempat lainnya telah berdiri cabang Muhammadiyah. Hal ini jelas bertentangan dengan keinginan Pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasinya maka KH. Ahmad Dahlan menyiasatinya dengan menganjurkan agar cabang Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain: misalnya Nurul Islam di Pekalongan, Ujung Pandang dengan nama Al-Munir, di Garut dengan nama Ahmadiyah. Sedangkan di Solo berdiri perkumpulan Sidiq Amanah Tabligh Fathonah (SATF) yang mendapat pimpinan dari cabang Muhammadiyah. Bahkan dalam kota Yogyakarta sendiri ia menganjurkan adanya jama'ah dan perkumpulan untuk pengajian dan menjalankan kepentingan Islam. Perkumpulan-perkumpulan dan Jama'ah-jama'ah ini mendapatkan bimbingan Muhammadiyah, yang di antaranya ialah Ikhawanul Muslimin, Taqwimuddin, Cahaya Muda, Hambudi-Suci, Khayatul Qulub, Priya Utama, Dewan Islam, Thaharatul Qulub, Thaharatul-Aba, Ta'awnu alal birri, Ta'aruf bima kanu wal-Fajri, Wal-Ashri, Jamiyatul Muslimin, Shratul Mubtadi.
Trik jitu dalam yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan dalam menyebarluaskan gagasan pembaharuan Muhammadiyah adalah dengan cara mengadakan tabligh ke berbagai kot, di samping juga melalui relasi-relasi dangang yang dimilikinya. Gagasan ini pun akhirnya mendapatkan sambutan simpatik yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama akhirnya makin berkembang hampir di seluruh Indonesia. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1921 Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.
Barangkali, kalu saja Ahmad Dahlan bukan sosok yang demokratis tidak menutup kemungkinan Muhammadiyah tidak berkembang pesat hingga sekarang ini. Untungnya Ahmad Dahlan dikenal sebagai seorang yang demokratis dalam melaksanakan aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, Ahmad Dahlan memfasilitasi para anggota Muhammadiyah untuk proses evaluasi kerja dan pemilihan pemimpinn dalam Muhammadiyah. Selama hidupnya dalam aktivitas gerakan dakwah Muhammadiyah, telah diselenggarakan dua belas kali pertemuan anggota (sekali dalam setahun), yang saat itu dipakai istilah Algemeene Vergadering (persidangan umum).

Ahmad Dahlah sebagai Pahlawan Nasional
Berkat jasa-jasa KH. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran bangsa ini melalui pembaharuan Islam dan pendidikan, maka Pemerintah Republik Indonesia menetapkannya sebagai Pahlawan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden no. 67 tahun 1961. Dasar-dasar penetapan itu adalah sebagai berikut:
1. KH. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan umat Islam untuk menyadari nasbinya sebgai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat
2. Dengan organisasi Muhammadiyah yang dirikannya, telah banyak memberikan ajaran Islam yang murni kepada bangsanya. Ajaran-ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi masyarakat dan umat, dengan dasar iman dan Islam
3. Dengan organisasinya, Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa, dengan jiwa ajaran Islam, dan
4. Dengan organisasinya, Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiah) telah memelopori kebangkitan wanita Indonesia untuk mengecap pendidikan dan berfungsi sosial, setingkat dengan pria.
Daftar Pimpinan Muhammadiyah Indonesia:

Teologi Muhammadiyah
Berbeda dengan NU, Muhammadiyah tidak pernah menyatakan secara eksplisist keterikatannya dengan doktrin teologis maupun fiqih Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, kecuali dalam Keputusan Tarjih yang disebutkan terdahulu. Gerakan Muhammadiyah, semenjak didirikan pada 1912, telah menunjukkan kepeduliaannnya akan perlunya pembaharuan; bagi umat Islam Indonesia. Sekalipun demikian, ketika organisasi ini dituduh oleh kelompok umat Islam lainnya bahwa mereka telah keluar dari Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah, salah seorang pemuka mereka, Djarnawai Hadikusuma, dengan tegas menolak tuduhan seperti itu. Dia kemudian menulis sebuah risalah penek berjudul Muhammadiyah Ahlu SUnnah wal Djama'ah?di mana dia membela posisi Muhammadiyah terhadap tuduhan tersebut. Risalah pendek ini, yang hanya terdiri dari atas 36 halaman, asalnya dimaksudkan sebagai bahan tambahan bagi para kader mubaligh Muhammadiyah supaya mereka dapat menanggapi secara tepat tuduhan bahwa Muhammadiyah sudah kelura dari garis Ahl al-Sunnah dan tidak mengikuti madzhab. Sekalipun demikian, risalah kecil ini, yang merupakan salah satu dari sedikit tulisan tentang Ahl al-Sunnah yang ditulis oleh kalangan Muhammadiyah, hanya memberikan gambaran selitnas tetnang sikap Muhammadiyah terhadap paham ini. Mungkin hal itu didasarkan pada kenyataan bahwa bagi warga mUhammadiyah keterikatan pada Ahl al-Sunnah bukan merupakan isu yagn cukup petning, sehingga tidak banyak menarik perhatian para pendukungnya untuk membahas persoalan tersebut. Hal in jelas sangat berbeda dengan kalangan NU yang sangat produktif.
Hadikusuma memulai uraiannya dengan menjelaskan secara retoris tentang mereka yang secara sepihak menyatakan bahwa pengikut Ahl al-Sunnah harus menganut ajaran empat madzhab dalam bidang fikih dan bahwa Indonesia merupakan basis bagi madzhab Syafi'i. mereka juga mengatakan bahwa orang yang tidak mengikuti ajaran madzhab sudah kelaur dari Ahl al-Sunnah dan akan tersesat, dan akhirnya masuk neraka. Menurut Hadikusuma, tuduhan seperti ini jelas ditujukan secara khusus kepada para pengikut Muhammadiyah, sebab kalangan Muhammadiyah tidak pernah menyatakan diri sebab penganut madzhab. Secara ironis Hadikusuma mempertanyakan, alangkah sedihnya mereka yang dianggap tidak mengikuti ajaran madzhab; berupa sengsaranya mereka yang dianggap telah keluar dari Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah, pada hal syahadat, tauhid, Nabi, dan Kitab Suci mereka adalah sama [dengan yang menuduh mereka telah keluar dari Ahl al-Sunnah].
Hadikusuma benar bahwa pada dasarnya lebih banyak terdapat persamaan antara kalangnan modernis dan tradisionalis ketimbang perbedaannya. Dalam hal keyakinan dan ibadah, dua kelom0p0k ini mengikuti konsep dasar yang sama. Mereka hanya berbeda (dan serign berselisih) dalam aspek-aspek sampingan yang disebut furuk (furu'iyyah). Sebagai missal, apbila pendukung NU lebih suka mengerjakan shalat tarawih selama bulan Ramadhan dengan 23 rakaat, pengikut Muhammadiyah lebih suka melakukan 11 rakaat saja. Jika orang NU terbiasa dengan adzan dua kali untuk shalat Juma't maka Muhmmadiyah memilih sekali saja. Demikian pula ketika kaum kaum tradisionalis biasa melakukan shalat Idul Fitri atau Idul Adha di masjid maka kaum modernis lebih suka mengerjakannya di tanah lapang atau tempat-tempat terbuka. Tetapi kenyataan bahwa masing-masing pihak mengerjakan shalat tarawih, shalat Jmat, Idul Fitri dan Idul Adha (dan kewajiban agama yang lain) secara terus-menerus masih lebih penting sebagai bentuk-bentuk kesamaan antara kedua kelompok tersebut sebagai pendukung ortodoksi, baik dalam bidang keyakinan maupun praktik ibadah.
Dalam membela posisi Muhammadiyah, Hadikusuma pertama-tama mengidentifikasi siapa sebenarnya yang dapat secara sah mengklaim dirinya sebgai pengikut Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Dia menyatakan, sebenarnya tidk sulit untuk mengetahui siapa yang dapt diakui sebagai bagian dari Ahl al-Sunnah, sebab sudah cukup jelas dari arti yang ditunjukkan oleh kata-kata itu sendiri, bahwa pengikut Ahl al-Sunnah adalah mereka yang mengikuti sunah Nabi dan jamaah para sahabatnya, yaitu dengan mengikuti seluruh ajaran dan amaliah mereka, serta mau berjuang untuk kemuliaan Islamd dan sunnahnya. Hadikusuma mendasarkan argumentasinya pada ayat Al-Qur'an:

"Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar."[9]

Dia juga merujuk kepada sebuah hadis yang telah berulang kali dikutip bahwa umat Islam akan terpecah menjadi 73 golognan dan hanya satu kelompok ang akan selamat dari api neraka, yaitu mereka yang secara tepat mengikuti sunnah Nabi dan para shabatnya. Kta pembuka ayat di atas, al-sâbiqûn al-awwalûn min al-muhâjirîn wa al-anshâr, adalah sesuai benar dengan kata penutup dari hadis di atas yagn berbunyi mâ ana 'alaihi wa ashhâbî. Secara jelas, hal itu menunjukkan bahwa masa ideal yang dapat dijadikan contoh (the exemplary period) yang di dalamnya doktrin Islam yang asli dilaksanakan ialah periode genarasi pertama umat Islam, yaitu periode para Sahabat Nabi ('ashr al-shahâbah). Berdasarkan ayat dan hadis di atas, doktrin Muhamadiyah menggariskan bahwa istilah salaf hanya dibatasi pada masa Sahabat saja, dan tidak harus ditambahkan pada kedua generasi sesudahnya, Tâbi'în dan Tâbi' al-Tâbi'în.
Hadikusuma menegaskan, Muhammadiyah adalah suatu gerakan Islam yang mendasrkan seluruh kegiatan social keagamaannya (amal ibadahnya) serta visi kehidupannya pada Kitab Allah dan sunnah Nabi sebagaimana diriwayatkan dalam hadis yang shahih. Muhammadiyah juga mengikuti perjuangan Nabi dalam mendakwahkan Islam dan mempromosikan kesejahteraan social. Menurut Hadikusuma, Muhmaadiyah sudah berhasil menerjemahkan seluruh konsep ideal ini ke dalam berbagai bentuk aktivitas, yaitu dakwah, mendirikan lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan anak yatim piatu dan masjid-masjid. Jadi, karena Muhammadiyah mendasarkan seluruh persoalan keagamaannya kepada ajaran Alah dan Rasul-Nya, tidak diragukan lagi, Muhammadiyah sudah berhasil membuktikan dirinya sebagai bagian dari Ahl al-Sunnah. Bahkan, pembaruan oleh Muhammadiyah, menurut pandanganya, sebanarnya dimaksudkan untuk membawa umat Islam Indonesia kembali kepada ajaran Ahlu al-Sunnah. Dalam hal ini sebenarnya cukup mengherankan ketika Hadikusuma ingin memasukkan My'tazilah ke dalam Ahl al-Sunnah. Dia beralasn bahwa pada waktu sekte Mu'tazilah muncul, istilah Ahl al-Sunnah belum dipergunkan. Dia merujuk kepada kejadian ketika Wasil ibn Atha' (w. 131H) di keluarkan dari halaqah kajian al-Hasan al-bashri (w. 116H) karena ia bertahan pada pendapatnya yagn berbeda dengan pendapat al-Bashri menyangkut status pelaku dosa besar. Berdasarkan kronologi sejarah tersebut, Hadkusuma menyimpulkan bahwa istilah Mu'tazilah lebih tua daripada istilah Ahl al-Sunnah dan, oleh karena itu, tdiak bisa dikeluarkan dari Ahl al-Sunnah.
Hadikusuma menjelaskan lebih lanjut beberapa doktrin pokok yagn diajarkan oleh Mu'tazilah dan menginterpretasikanya sesuai dengan pandagnan kaum reformis. Suatu contoh menarik dapat kita lihat dalam hal Al-Qur'an yang menurut Hadikusuma, meniru pandangan kaum Mu'tazilah, adalha tidak abadi. Dalam batas-batas tertentu, hadikusuma tampaknya setuju dengan pandangan tersebut, tetapi degnan memberikan interpretasinya secara khusus. Memercayai bahwa Al-Qur'an itu tidak abadi mengandung arti bahw Al-Qur'an pada suatu ketika bisa saja hilang, dalam arti tidak ada seorang pun yagn dapt memahami artinya atau tidak ada yagn mau mengamalkan ajaran-ajarannya, meskipun wujud fisiknya sebgai ktiab suci memenuhi almari buk. Ketidakabadian Al-Qur'an, dengan demikian, dapat dipahami dalam pengertian bahwza akan tiba saatnya ketika tidak ada satu orang pun hafal ayat-ayatnya atau tidak ada satu mushhaf yang tersisa, namun tidak ada lagi orang yagn paham artinya atau mengetahui bagaimana mengamalkan ajarannya. Menyadari hal terebu, para pendukung Muhmmadiyah adalah kelompok pertama yang paling dulu menyadari perlunya menerjemahkan Al-Qur'an dan memakia bahwa daerah dlam menyampaikan isi khotbh Juma'at.
Tidak terlalu jelas apakah penafsiran Hadikusuma tetnagn Ah al-Sunnah wa al-Jama'ah sebagaimana diuraikan di atas merepresentasikan "sikap resmi" Muhammadiyah dalam memaknai hal tersebut. Paling tidak untuk sebagian, permasalahan ini dapat dianggap sebagai pertanda adanya "pluralisme internal" dalam tubuh Muhammadiyah. Setiap indivisu anggota Muhammadiyah diperbolehkan melakukan pengujian (bahkan sampi mendalam sekalipun) tentang persoalan-persolan kala, seperti masalh sifat-sifat Tuhan. Tapi sebgai institusi, Muhammadiyah tidak memiliki batasan secara khusus tentang upaya pengkajian yang dilakukan oleh individu anggotanya.
Sebenarnya, bagian pertama dari tulisan Hadikusuma lebih banyak membahas ijtihad dan taklid, sebagai persolan yang paling kontroversial dalam pemikiran Islam dan sering meletupkan perselisihan di antara kalangan modernis dan tradisionalis. Jika kalangan tradisionalis menyatakan bahwa taklid diperbolehkan atau bahkan harus, bagi kaum modernis justru dilarang. Bagi kaum modernis, orang Islam harus meninggalkan taklid dan mau melakukan ijtihad. Oleh karena itu, pintu ijtihad tidak pernah ditutup, sebab masih banyak persoalan yagn mengharuskan umat Islam untuk berijtihad guna mencari solusi yang tepat dari setiap persoalan yang dihadapi. Hadikusuma mengutip banyak pendapat para imam madzhab yang menyatakan bahwa mereka tidak bermaksud untuk memaksa umat Islam mengikuti secara membuta keputusan-keputusan hukum yang mereka buat. Oleh karena itu, masih terbuka kesempatan luas bagi mereka untuk melakukan ijtihad. Dengan kata lain, menurut Hadikusuma, taklid adalah dilarang dan setiap Muslim harus dapat menemukan sendiri dalil yang membenarkan praktik keagamaan yang mereka lakukan. Seklipun demikian, jika seorang Muslim tidak dapat berijtihad, dia harus mengikuti keputusan imam madzhab dengan keharusan memahami referensi yang ia pakai, baik dari Al-Qur'an maupun sunah sebagai dalil. Praktik seperti ini, menurut Hadikusuma, disebut ittiba'. Dengan demikian, seorang alim atau guru yang mengajar tentang hukum agama harus dapat menjelaskan dalil-dalil yang ia gunakan sehinga umat Islam yang berumber kepadanya dapat ittiba' dan tidak sekadar taklid.
Menurut Dr. Fauzan Saleh, karena Muhammadiyah tidak terlalu peduli terhadap persoalan aakah organisai ini termasuk Ahl al-Sunnah atau bukan, tidak mengheankan jika masalah ini jarang dibicarakan oleh para pengikutnya. Salah satu aspek paling menonjol dalam persoalan ini ialah adanya penegasan bahwa persyarikatan ini tidak mengikatkan pada madzhab tertentu di dalam fikih. Muhammadiyah menyatakan bahwa posisi seperti itu lebih tepat arena umat Islam pada zaman modern ini sangatlah mungkin mempelajari dan mengikuti berbagai aliran pemikiran sekaligus. Bahkan, hal itu akan lebih bermanfaat. Sebab, dengan membebaskan diri dari keterikatan pada madzhab tertentu, para pengikut Muhamadiyah dapat menggali suatu bentuk perkembangan yang lebih maju dari berbagai kecenderungan yagn terus berkembang lebih pluralistis. Degnan begitu, mereka bebas untuk mempereluas pemikiran mereka tanpa suatu beban bahwa mereka akan menyalahi doktrin madhab tertentu. Bahkan, berbeda dengan NU, Muhammadiyah tidak terobsesi untuk menjadi bagian dari Ahl al-Sunnah, sekalipun dalam dasar organisasinya telah ditegaskan bahwa dalam hal keyakinan mereka mengikuti ajaran ini. Oleh karena itu, Muhammadiyah, menurut Syafiq Mughni, dapat menyatakan diri sebagai gerakan nonsektarian, sebab ia selalu merujuk langsung kepada Al-Qur'an dan sunah, dan tidak kepada suatu aliran yang dibangun oleh para ulama pada periode tertentu dalam ajaran Islam.[10]
Gerakan pembaharuan yang didukung Muhammadiyah telah didesain untuk mempertahankan kemurnian ajaran-ajaran Islam sebagaiana dimanifestasikan dalam Al-Qur'an dan sunah, terlepas dari unsure-unsur bid'ah dan khurafat, sebagai refleksi karakteristik-Islam ang sesungguhnya. Muhmmadiyah memandang pembaharuan ini sebagai sarana merekonstruksi kehidupan keagamaan dalam bentuknya yang asli. Dalam hal ini, Muhammadiyah menjadi pelopor upaya pemurnia, baik dalam hal keyainan maupun praktik ritual dari semua bentuk penyimpangan atau bid'ah. Pembaharuan atau tajdîd dalam arti ini bias disebut "pemurnian."
Di sisi lain, karena Islam juga meliputi nilai-nilai universal, tajdîd yang dilakukan oleh Muhammadiyah juga menunjuk kepada uapaya mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam sesuai dengan tuntutan kemajuan kehidupan modern, meskipun ruang lingkupnya terbatas pada aspek-aspek nnritual. Tajdîd  dalam arti ini bias disebut pembaharuan (revewal). Berkaitan dengan tipe tajdîd pertma, Muhammadiyah menyadri bahwa umat Islam cenderung untuk sedikit menyimpang dari ajaran Islam yang asli. Hal ini bukan berarti bahwa ajaran Islam telah rusak, sebab umat Islam yakin bahwa Islam sebagai agama adalah sempurna. Sekalipun demikian, berbgai penyimpangan bias saja terjadi dalm menerapkan doktrin yang benar karena pengaruh budaya setampat atau karena kurangnya pemahaman umat Islam sendiri tentang keyakinan ynag benar tersebut. Di sisi lain, Muhammadiyah yakin bahwa Islam seabagai agama sangat sesuai dengan kehidupan masyarakat modern atau tidak bertentangan dengan modernisme. Ini Karena Islam telah meletakkan pokok-pokok ajrannya sesuai dengan perkembangan pola pikir umat manusia.
Dalam tesisnya yang ditulis pada tahun 1957, Abdul Mukti Ali menulis bahwa bebarapa faktor utama yang mendorong didirikannya orgnisasi Muhammadiyah, antara lain ialah ketidakmurnian dalam kehidupan beragama, kurang efisiennya pelaksanaan pendidikan agama, kegiatan para misionaris Kristen dan ketdiakpedulian kalangan intelektual terhadap ajaran agama mereka. Inilah bebarapa bidang yang digarap oleh Muhammadiyah dengan memperkenalkan misi pembaharuannya. Peacock menjelaskan suasana yang dialami umat Islam sat Muhammadiyah pertama kali berdiri pada tahun 1912:

Pada saat Muhammadiyah didirikan, misionaris Kristen untuk pertama kalinya mendapat dukungan secara aktif dan mendapat subsidi dari pemerintah kolonial Belanda, dan sebagian umat Islam memandang para isionaris sebagai ancaman bagi posisi umat Islam di Nusantara. Daslam rangka bersaing dengan uamt Kristen dan juga diilhami ole hide-ide gerakan pembaharuan dari berbagai sumber, Muhammadiyah mengorganisasikan dirinya dengan mengikuti model Barat, berbeda dengan yang biasa dilalukan oleh santri. Mereka memilih pemimpin, menunjuk dewan pengurus, menggaji staf, membetnuk cabang di seluruh Indonesia, menyelenggarakan kongres nasional dan mempublikasikan laporan kegiatan mereka. Pada saat yagn sama Muhammadiyah menolak bung bank yang dialarang oleh agama, dan oleh karenaya mereka tidak mau membuka rekening di bank.[11]

Dalam konstitusinya, Muhammadiyah menegaskan bahwa ia merupakan gerakan Islam yang bergerak dalam bidang dakwah amar makruf nahi munkar, berdasarkan ajaran Al-Qur'an dan sunah. Oleh karena itu, tujuan utama gerakan ini ialah memurnikan doktrin Islam di Indonesia dari berbagai pengaruh budaya local, mereformulasi doktrin Islam sesuai dengan kemajuan pemikrian modern, memperbarui pendidikan Islam dan membela Islam dari berbagai serangan dan ancaman pihak luar. Di samping membela Islam, Muhammadiyah juga berusaha untuk dapat menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera berdasarkan ridha dari Allah Swt.
Kaum Pembaharu, dalam arti luas, sering disebut Kaum Muda, sebagai lawan dari Kaum Tua. Kaum Muda berpegang teguh pada ajaran pokok tentang ijtihad dan pemurnian. Dalam perspektif mereka, ijtihad merupakan penafsiran rasional terhadap teks Al-Qur'an dan hadis oleh perorangan. Lawan ijtihad dalam arti ini ialah taklid, atau menyandarkan diri kepada kata para ulama, suatu tradisi yang seirng dicemooh oleh Kaum Muda. Taklid buta dianggap sebagai bentuk penyimpangan dari ajaran Idlam yang senanya, sebab hal itu dirujukkan kepada paham dari suatu madzhab yang sebenarnya, sebab hal itu dirujukkan kepada paham dari suatu madzhab tertentu sebagaimana dirumuskan oleh para ulama Abad Pertengahan. Taklid juga dianggap sebagai musuh kebebasan berpikir yang menyebabkan terjadinya kebekuan intelektual dan kemandekan dalam kehidupan keagamaan. Dengan demikian, pemurnia dalam praktik kehidupan beragama sangat diperlukan untuk menghapuskan semua unsure-unsur non-Islam, seperti yang banyak dilakukan dalam kegiatan mistik, magi, atau tradisi Animisme, induisme dan Buddhisme yang etlah dimasukkan dalam Islam sinkretis. Melalui purifikasi atau pemurnian ini, kaum reformis berupaya menemukan kembali Islam sejati. Mereka yakin bahwa keimanan adalah sama bagi setiap orang dan se-panjang masa, suatu konsep yang meungkinkan mereka untuk merasionalkan berbagai konsep yang memungkinkan mereka untuk merasionalkan berbagai konsep abad modern. Oleh karena itu, kaum reformis banyak mengambil hal-hal baru dalam kehidupan namun tetap mempertahankan identitas Islam mereka.
Dari pemaparan di ataslah sebenaranya doktrin teologis Muhammadiyah itu adalah memakai doktrin teologis yang bersifat membumi. Aritinya Tuhan memanifestasikan dirinya itu tidak hanya dalam bentuk yang melangit, tapi Muhammadiyah mencoba memaknai ke-Ilhahi-an, ke-Rububiah-an, ke-Mulki-an, dan sifat-sifat-Nya yang berjumlah 99[12] itu dengan cara membumikannnya. Sehingga bagi Muhammadiyah Tuhan tidak dipandang jauh tapi lebih dekat dengan sifat-sifat manusiawai, dan tentunya juga, akhirnya Islam tidak dipandang sebagai ajaran khurafat, takhayul, bid'ah, jumud, tapi Islam yang betul-betul memanusiawikan manusia dalam bentuk tindakan nyata untuk menegakkan amar ma'ruf nahyi munkar sesuai dengan perkemabngan zaman –kini maupun yang akan dating– dan dalam penerapana iman itu sendiri disesuaikan juga dengan kadar iman yang dimilikinya.[13]
Karena itulah, menurut keyakinan Muhammadiyah melalui M. Djindar Tamimi, iman artinya kepercayaan atau mempercayai. Iman diungkapkan dengan keyakinan yang mantap (al-Ittqadul jazim). Keyakinan akan keesaan tauhid berarti perihal keesaan sesuatu yang diyakini sebagai tambatan hatinya. Sesuatu yang diyakini, yang berhubungan degnan keesaan Allah agar menjadi tambatan hati, sehingga tidak akan bisa lepas dari dirinya.
Masalah ke-Tuhan-an adalah hak Allah semata-mata, mutlak, tidak dimiliki oleh orang lain. Aqidah al-Tauhid terhadap Allah haruslah meliputi segala seginya, baik tentang rububiyah-Nya, maupun tentang 'ubudiyah-Nya.
Allah memiliki tiga sebutan, Allah sebagai Rabbun, Malikun dan Ilahun. Rabbun ialah Tuhan yang Mahamencipta, Mahamemelihara. Malikun adalah Tuhan Yang Mahamenguasai dan Mahamengatur. Seangkan Ilahun adalah Tuhan yang berhak dan wajib disembah, diibadahi. Keesaan aqidah harus meliputi semua aspek tersebut.
Kata Allah adalah nama bagi Tuhan. Siapakah Tuhan? Tuhan adalah Mahapencipta alam semesta dengan segala isinya. Mahapencipta yang memiliki segala sifat kesempurnaan serta suci dari segala sifat kekurangan. Keeasan tauhid terhadap dimaksudkan untuk meluruskan, membenarkan, dan membetulkan di dalam memahami, menghayati seta meyaini ini dengan setepat-tepatnya dan sedalm-dalamnya kalimat syahadat.
Muhammadiyah berpendirian bahwa ajaran yang berhubungan dan mengenai masalah teologi harus bersumber dan berdasarkan kepada wahyu yang qath'î (jelas/pasti), baik dari Al-Qur'an maupun al-Hadits.
Pengenalan dan iman manusia kepada Allah, menurtu Muhammadiyah, harus dengan meyakini Alalh adalah Mahapencipta alam semesta dan seluruh isinya. Untuk mengenal Allah sebagai lah, tidak ada jalan lain kecuali harus melalui pelajaran yang dibawa oleh para Rasul. Sedangkan untuk bisa mengenali Allah sebagai Mahapemelihra alam semesta ini dapat dicapai manusia dengan mengunakan akal pikriannya. Akan tetapi untuk sampai mampu mengenali dan mengakui Allah sebagai ilah, tidak ada jalan lain kecuali mesti lewat pelajaran yang dibawa oleh para Rasul Allah yang berupa wahyu dari Allah Swt. Hal itu terjadi karena akan menyangkut masalah-masalh yang sama sekali di luar kemauan dan kemampuan manusia. Hal etrsebut sebgaimana yang dijelaskan dalam surat Luqman ayat 25:

"Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui."

Ayat tersebut memberikan pengertian bahw pengakuan akan adanya Mahapencipta yang oleh manusia dianggap Tuhan sudah merupakan pembawaan asal, atau sering disebut fitrah manusia. Manusia yanhg telah diciptakan oleh Alalh dengan anugerah akal, di mana manusia lalu bisa berfikir dan meresapi pikirannya itu, akan mengakui bahw alam semesta dengan seluruh isinya adalah hasil ciptaan suatu Dzat. Dzat itu disebut Tuhan yang di dalam agama Islam bernama Allah. Pengakuan akan adanya Allah adalah fitrah manusia.
Prinsip Muhammadiyah dalam memahami Al-Qur'an aadlah dengan mengunakna akal pikiran secara cerdas dan bebas setra dinamis-progresif. Sehingga dapat menemukan kandungan-kandungan Al-Qur'an yang mendekati kebenarannya. Tidak cukup hanya dengan mengandalkan rasio. Tetapi juga harus dengan mempertajam kepekaan hati nurani. Karena hati nurani harus senantiasa dibersihkan dan diperhalus smpai menjadi sangat peka sehingga isyarat-isyarat terkecil yang terkandung di dalam ayat-ayat Al-Qur'an bisa ditangkap.
Wahyu yang mengandung peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan oleh manusia disebut wahyu syari'at. Sebab ada wahyu Allah yang tidak berupa syari'at. Sampai lebahpun mendapat wahyu. Siti Maryam juga mendapt wahyu, tetapi wahyu yang bukan berupa syari'at. Karenanya wahyu yang diterima Siti Maryam bukan merupakan agama. Wahyu syariat ada dua macam, yaitu:
1. Berwujud firman-firman Alalh atau kalam Allah. Wahyu yang berupa firman atau kalam Allah ialah lafadz dan maknanya sudah jadi. Malaikat Jibril menyampaikan wahyu yang berupa kalam Alalh itu hanya sekadar membacakan kepada Rasul. Jadi diterima seutuhnya, karena sudah berupa firman Tuhan. Sedangkan lafadz (ucapan) dan maknanya sudah selesai. Malaikat Jibril tinggal menyampaikan dengan membacakan wahyu itu kepada Rasul-Nya. Wahyu yang berupa kalam itu kemdian terhimpun dalam apa yang disebut kitab. Kitab adalah himpunan wahyu Allah yang berupa firman-firman atau kalam yang terhimpun. Nabi Daud memunyai kalam Allah yang terhimpun berupa Zabur, Nabi Musa dinamakan Taurat, Nabi Isa dinamakan Injil, dan Nabi Muhammad dinamakan Kitab Suci Al-Qur'an al-Karim.
2. Wahyu yanng bukan berupa kalam. Wahyu dalam jenis ini hanya berupa pengertian yang disampaikan oleh Malaikat disampaikan kepada Rasul hanya seperti bisikan dalam hatinya, dengan dihembuskan di dalam pengertia atau di dalam kesadaran Rasul. Cuma pengertiannya saja yang diterima Rasul. Kemudian Rasul menyampaikan kepada para sahabat dengan bahasa Rasul yang mengandung pengertian yang diterima dari wahyu. Wahyu jenis kedua ini maksudnya untuk menjelaskan lebih lanjut pengertian-pengertian yang terkandung dalam kalam Allah yang terhimpun dalam kitab Allah. Penjelasan-penjelasan itu dapat berupa sabda-sabda Nabi atau berupa perbuatan-perbuatan Nabi yang menjelaskan bagaimana melaksanakan apa yang terkandung dalam al-Kitab.[14]






[1] Informasi yang lengkap tentang Muhammadiyah dapat diperoleh melalui website resmi Muhammadiyah di situs www. Muhammadiyah.co.id
[2] Faturrahman Djamil, Metode Ijitihad Majelis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995), hal. 1
[3] Lihat Makalah M. Djindar Tamimi, "Latar Belakang Berdirinya Muhamamdiyah, dalam Pembina al-Islam dan Kemuhammadiyahan UMM," Muhammadiyah; Sejarah, Pemikiran, dan Amal Usaha, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), hal. 3. Selanjutnya dibaca: M. Djindar Tamimi
[4] MB. Hooker, Islam Madzhab Indonesia; Fatwa-Fatwa dan Perubahan Sosial, (Bandung: Teraju Mizan, 2002).
[5] Lihat situs resmi Muhammadiyah di www.muhammadiyah.co.id
[6] Lihat Makalah Muhmamad Roem, Mengenai KH Ahmad dahlan, dalam Tim Pembina al-Islam dan Kemuhammadiyahan, hal. 20-21. Selanjutnya dibaca: Muhammad Roem
[7] Muhammad Roem, hal. 20-21.
[8] Infromasi tentang latar belakang dan sejarah KH. Ahmad Dahlan ini diambil dari www.wikipedia.co.id. Dan bias juga dilihat pada karya Tim Pembina al-Islam dan Kemuhammadiyahan, hal. 30-31
[9] QS. Al-Taubah [9}: 100
[10] Fauzan Shaleh, Teologi Pembaruan ; Wacana Pemikiran Islam Indoensia Abad XX (Jakarta: Serambi, 2005), hal. 112-114. Selanjutnya dibaca: Fauzan Shaleh
[11] Fauzan Shaleh, hal. 114
[12] Sifat Allah yang berjumlah 99 ini para ulama menyebutnya dengan Al-Asmâ' al-Husnâ' (sifat-sifat Allah yang baik)
[13] Fauzan Shaleh, hal. 115

[14] Lihat  M. Djindar Tamimi, hal. 68-69.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar