Assalamualaikum Wr, Wb...

Silahkan kunjungi blog saya,, dan tinggalkan pesan dan komentar maupun saran saudara... okey...

Laman

Rabu, 26 Mei 2010

Sekilas Tentang Nadlatul Ulama (NU)


Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan Islam), disingkat NU, adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 13 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.

Sejarah NU
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan "Kebangkitan Nasional". Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana - setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan "Nahdlatul Fikri" (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bidah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan maupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al-Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya melakukan walk out.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hijaz, yang diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hijaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (13 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy'ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka K.H. Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.

Paham Keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah waljama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur'an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.

Basis Pendukung
Jumlah warga NU yang merupakan basis pendukungnya diperkirakan mencapai lebih dari 80 juta orang , yang mayoritas di pulau jawa, kalimantan, sulawesi dan sumatra dengan beragam profesi, yang sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki problem yang sama, selain itu mereka juga sangat menjiwai ajaran ahlususunnah wal jamaah. Pada umumnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basisi intelektual dalam Nu juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini.

Tujuan Organisasi
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Usaha Organisasi
Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.
Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.
Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

Struktur Organisasi
Pengurus Besar (tingkat Pusat)
Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri
Pengurus Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
Mustayar (Penasihat)
Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
Syuriyah (Pimpinan tertinggi)
Tanfidziyah (Pelaksana harian)

Jaringan Organisasi
Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi:
31 Wilayah
339 Cabang
12 Cabang Istimewa
2.630 Majelis Wakil Cabang / MWC
37.125 Ranting

Teologi Kaum Nahdliyin
Paham teologi NU adalah terakili oleh paham teologi yang dikembangkan oleh Imam Al-Asy'ari dan karenanya termasuk paham teologi tradisional, yang mengambil posisi antara ekstrim rasionalis yang menggunakan metafor dan golongan ekstrim tekstualis yang leterlek. Ia mengambil posisi di antara aliran Mu'tazilah dan Salafiyah, tetapi "benang merrah" sebagai jalan tengah yang diambilnya tidak begitu jelas. Suatu kali ia memihak Mu'tazilah, lain kali cenderung ke Salafiyah, dan lain kali, mengambil kedua pendapat dari kedua aliran yang bertentangan itu lalu menkompromikannya menjadi satu.
Sebagai penentang Mu'tazilah, sudah barang tentu NU berpendapat, bahwa Tuhan mempunyai sifat. Mustahil Tuhan sendiri meruapkan pengetauan ('Ilm). Yang benar, Than itu mengetahui ('Alim). Tuhan mengetahui dengan pengetahuan-Nya, bukanlah dengan Dzat-Nya. Demikian pula bukan dengan sifat-sifat seperti, sifat hidup, berkuasa, mendengar, dan melihat.
Di sini terlihat, NU menetapkan sifat kepada Tuhan seperti halnya kaum Salafi. Namun cara penafsirannya cukup berbeda. Kaum Salafi hanya menetapkan sifat kepada Allah, sebagaimana teks ayat, tanpa melakukan pembahasan mendalam. Mereka haya menerima arti dengan jalan kepercayaan, bahwa sifat-sifat Allah berbeda dengan sifat makhluk-Nya. Begitu hati-hatiya mereka dalam menjaga persamaan Allah dengan makhluk-Nya, sehingga mereka mengatkan, "Siapa yang tergerak tangannya, lalu ketika membaca ayat yang berbunyi, 'Aku (Allah) ciptakan dengan tangan-Ku,' lalu ia langsung mengatakan, wajib potong tangannya."
Lain halnya degnan NU, baginya arti sifat tidak jauh berbeda dengan pengertian sifat bagi Mu'tazilah. Bagi NU, sifat berada pada Dzat, tetapi sifat bukan Dzat, dan bukan pula lain dari Dzat.
Masih berbicara tentang tauhid, pemikiran NU yang lain ialah bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat. Untuk itu, NU membawakan argument rasio dan nash. Yangtidak dapt dilihat, kata NU, hanyalah yang tak punya wujud. Setiap wujud mesti dapt dilihat, Tuhan berwujud, dan oleh Karen itudapat dilihat.
Argument Al-Qur'an yang dimajukannya antara lain, "Wajah-wajah yang ketika itu berseri-serti memandang kepada Allah."[1]
 Menurut NU, kata nazirah dalam ayat itu tak bias berarti memikirkan seperti pendapat Mu'tazilah, Karena akhirat buanlah tempat berfikir; juga tak bias berarti menunggu, karena wajah atau muka tidak dapat menunggu, yang menunggu adalah manusia. Lagi pula, di surga tidak ada penungguan, karena menunggu mengandung makna dan membuat kejengkelan dan kebosanan. Oleh karena itu, nazirah mesti berarti melihat dengan mata kepala.
Sungguhpun NU berpendapat, bahwa orang-orang mukmin nanti dapat melihat Tuhan di akhirat dengan mata kepala, namun pemahamannya bukanlah bersifat harfiyah. Tetapi menghendaki suatu penafsrian lagi, yaitu bahwa melihat Tuhan itu tidak mempunyai tempat dan terarah pada tujuan, tetapi hanya merupakan suatu penglihatan pengetahuan dan kesadaran, dengan mempergunakan mata, yang belum terfikirkan bagi kita sekarang bagaimana bentuk mata itu nantinya.
Namun demikian, untuk dapat menerima, bahwa Tuhan dapt dilihat nanti di Akhirat, maka NU memerlukan pula untuk menafsirkan atau mena'wilkan ayat berikut ini:

"Penglihatan tak dapt menangkap-Nya tetapi ia dapt mengangkat penglihatannya."[2]

Ayat tersebut di atas diartikan oleh NU melalui pendapat Imam al-Asy'ari, bahwa yang dimaksud tidak dapat melihat Tuhan adalah di dunia ini, dan bukan di akhirat. Dan juga diartikan tidak dapt melihat Tuhan di akhirat bagi orang kafir.

Tauhid Keadilan
Apa yang telah diungkapkan di atas, adalah merupakan sebagian dari pemikiran al-Asy'ari tentang tauhid. Sekarang kita berpindah kepada pemikirannya tentang keadilah. Sengaja dirangkaikan keadilah dengan tauhid, karena pembahasan tentang tauhid hanyalah merupakan filsafat ketuhanan semata, sedangkan keadilan adalah merupakan filsafat hubungan khaliq dengan makhluk-Nya.
Al-Asy'ari, seperti Mu'tazilah, meyakini bahwa Allh adalah Maha Adil. Tetapi seperti kaum Salafi, ia menolak faham al-Shalah wa al-Ashlah-nya Mu'tazilah, yakni, Tuhan wajib mewujudkan yang baik, bahkan yang terbaik untuk kemashlahatan manusia. Allah, kata al-'Asy'ari, bebas memperlakukan apa yang dikehendaki-Nya.
Al-Asy'ari meninjau keadilan Tuhan dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Keadilan diartikannya "menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya," yaitu seseorang mempunyai mutlak kekuasaan mutlak atas harta yang dimiliknya serta mempergunakannya sesuai dengan pengetahuan pemilik.
Tidak dapat dikatakan salah, kata al-Asy'ari, kalau Tuhan memasukkan seluaruh umat manusia ke dalam surga, termasuk orang-orang kafir, dan juga tiadk dapat dikatakan Tuhan bersifat dzalim, jika Ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka. Karena perbuatan salah dan tidak adil menurut pendapatnya adalah perbuatan yang melanggar hukum, dank arena di atas Tuhan tidak ada undang-undang atau hokum, maka perbuatan Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.
Oleh karena itu, Tuhan sebagai Pemilik yang berkuasa mutlak, dapat berbaut apa saja yan dikehendaki-Nya terhadap makhluk-Nya. Jika Tuhan menyakit anak-anak kecil di hari kiamat, menjatuhkan hukuman bagi roang mukmin, atau memasukkan orang kafir ke dalam surga, maka Tuhan idaklah berbuat salah dan dzalim. Tuhan masih tetap bersifat adil. Upah yang diberikan Tuhan hanyalah rahmat dan hukuman tetap merupakan keadilan Tuhan.
Paham keadilan al-Asy'ari ini mirip dengan paham sebagian umat yang merestui seorang raja yang absolute dictator. Sang raja yang absolute dictator itu, memiliki hal penuh untuk membunuh atau menghiudpkan rakyatnya. Kemudian digambarkan, bahwa sang raja menghiudpkan rakyatnya. Kemudian digambarkan, bahwa sang raja itu di atas dari undang-undang dan hokum, dalam arti, dia tidak perlu patuh dan tunduk kepada undang-undang dan hokum. Karena undang-undang dan hokum itu adalah bikinannya sendiri.
Dari asumsi itu, kemudian al-Asy'ari menganalogikan bahwa Allah hak prerogative kemerdekaan mutlak. Dia memperlakukan sekehendak-Nya terhadap milik-Nya. Maka tidak seorangpun yagn dapat mewajibkan sesuatu kepada Alah mengenai kemaslahatan umat manusia, baik di duniaini, maupun di akhirat. Kalau Allah menganiaya seluruh uamt manusia, baik di dunia atau di akhirat, maka tidak seorangpun yang akan sanggup menyalahkan dan menuntut-Nya. Persis seperti seorang raja yang absolute dictator, kalau ia menganiaya seluruh rakyatnya, maka tak seorangpun yang sangat menetnangnya. Karena menusia, bagi al-Asy'ari, selalu digambarkan sebagai seorang yang lemah, tidak mempunyai daya dan kekuatan apa-apa di saat berhadapan dengan kekuasaan absolute mutlak. Karena manusia dipandang lemah, maka paham al-Asy'ari dalam hal ini lebih dekat kepada faham Jabariyah (fatalism)[3] dari faham Qadariyah (free will dan free act).[4]
Dalam pandangan al-Asy'ari, manusia dalam kelemahannya banyak tergantng kepada kehendak dan kekuasaan Tuan. Untuk menggambarkan hubungan perbautan dengan kemauan dan kekuasaan mutlak Tuhan al-Asy'ari memakai istilah al-kasb (acquisition, perolehan). Al-Kasb dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang timbul dari manusia dengan perantaraan daya yang diciptkan oleh Allah. Tentang faham kasb ini, al-Asy'ari memberi penjelasan yang sulit ditangkap. Di satu pihak ia ingin melukiskan peran manusia dalam perbuatannya. Namun dalam penjelasannya tertangkap bahw kasb itu pada hakekatnya adalah ciptan Tuhan. Jadi, dalam teori kasb manusia tidak mempunyai pengaruh efektif dalam perbuatannya. Kasb, kata al-Asy'ari, adalah sesuatu yang timbul dari yang berbuat (al-muhtashib) dengan perantaraan daya yang diciptakan.
Melihat kepada pengertian, "sesuatu yang timbul dari yang berbuat" emngnadung atas perbuatannya. Tetapi keterangn bahwa "kasb itu adlah ciptaan Tuhan" menghilangkan arti keaktifan itu, sehingga akhirnya manusia bersifat pasif dalam perbuatan-perbuatannya.
Argument yang dijaukan oleh al-Asy'ari tentang diciptakannya kasb oleh Tuhan adalah ayat:

"Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatan kamu."[5]

Jadi, dalam paham al-Asy'ari, perbuatan-perbuatan manusia adalah diciptakan Tuhan. Dan tidak ada pembuat (agent) bagi kasb kecuali Allah. Dengan perkataan lain, yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia, menurut al-Asy'ari, sebenarnya adalah Tuhan sendiri.
Bahw perbuatan manusia sebenarnya adalah perbuatan Tuhan, dapat dilihat dari pendapat al-Asy'ari tentang kehendak dan daya yang menyebabkan perbuatan menjadi wujud. Al-Asy'ari menegaskan bahwa Tuhan menghendaki segala apa yang mungkin dikehendaki. Tidak satupun  di dalam ini trwujud lepas dari kekuasaan dan kehendak Tuhan. Jika Tuhan menghendaki sesuatu, ia pasti ada, dan jika Tuhan tidak menghenadkinya niscaya ia tiada. Firman Tuhan:

"Kamu tidak menghendaki kecuali Allah menghendaki."[6]

Al-Asy'ari memaknai ayat tersebut bahwa manusia tak bisa menghendaki sesuatu, kecuali jika Allah menghendaki manusia agar menghendaki sesuatu. Ini mengandung pengertian bahw kehendak manusia adlh satu dengan kehendak Tuhan, dan kehendak yang ada dalam diri manusia, pada hakekatnya tidak lain berasal dari kehendak Tuhan.
Dalam teori kasb, untuk merealisasikan terwujudnya suatu perbuatan dalam perbuatan manusia, terdapat dua perbatuan, yaitu perbutan Tuhan dan perbuatau manusia. Perbuatan Tuhan adalah hakiki dan perbutan manusia adalah majazy (sebagai lambing). Al-Baghdadi mencoba mejelaskan kepada kita sebagai berikut:
Tuhan dan manjusia dalam suatu perbuatan adalh seprti dua orang yagn mengankat batu besar; yang seorang mampu mengangkatnya sendirian, sedangkan yagn seorang lagi tidak mampu. Kalau kedua orang tersebut sama-sama mengangkat batu besar itu, maka terangkatnya batu itu adalah oleh yagn kaut tadi, namun tidak berarti bahwa orang yang tidak sanggup itutidak turut mengangkat. Demikian pulalah perbautan manusia. Perbuatan pada hakekatnya terjadi dengan perantaraan daya Tuhan, tetapi manusia dalam pada itu tidak kehilangan sifat sebgai pembuat.
Untuk sementara dapat ktia simpulkan bahwa dalam paham al-Asy'arai, untuk terwujudnya perbautan perlu ada dua daya, adya Tuhan dan daya manusia. Tetapi daya yang berpengaruh dan efektif pada akhirnya dalam perwujuda perbuatan ialah daya Tuhan, sedangkan daya manusia tidaklah efektif kalau tidk disokong leh daya Tuhan. Karena manusia dalam teori kasb al-Asy'ari tidak mempunyai pengaruh efektif dalam pebuatannya, maka banyak para ahli menilai bahw kasb adalah sebagia jabariyah moderat, bahkan Ibn Hazm (w. 456 H) dan Ibn Taimiyyah (w. 728 H) menilai, sebagai jabariyah murni. Harun Nasution juga berpendapant semikian. Alasannya karena menurut al-Asy'ari kemauan dan daya untuk berbuat adalah kemauan dan daya Tuhan, dan perbuatan itu sendiri adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia.


[1] QS. Al-Qiyamah [75]: 22-23
[2] QS. Al-An'âm [6]: 103
[3] Kaum Jabariyah berpendapat, bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam faham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Jadi nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Memang dalm aliran ini terdapat faham bahwa manusia mengerjakan perbuatannya dalam keadaan terpaksa. Pada intinya, paham ini berpendapat bahwa perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semual oleh qada dan qadar Tuhan. Harun Nasution, Teologi Islam; Aliran-aliran Sejarah Analisa Pebandigan, (Jakarata: UIP, 1986), hal. 31. Selanjutnya dibaca: Harun, Teologi Islam.
[4] Sedangkan kaum Qadariyah sebaliknya dari Jabariyah. Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemedekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupny. Mnurut qadariyah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-pebuatannya. Dengan demikian nama Qadariyah berasal dari pengertia bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan unutk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar Tuhan. Harun, Teologi Islam.
[5] QS. Al-Shaffat [37]: 96
[6] QS. Al-Insân [76]: 30

Tidak ada komentar:

Posting Komentar