Assalamualaikum Wr, Wb...

Silahkan kunjungi blog saya,, dan tinggalkan pesan dan komentar maupun saran saudara... okey...

Laman

Rabu, 26 Mei 2010

Sekilas mengenai Wahabi


WahabiWahabi

Pengertian wahabi

Menurut Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu Allah menghendaki nama wahabi sebagai nisbat kepada Al-Wahhaab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Allah yang baik (Asmaa'ul Husnaa).
Wahhabi atau Wahabi adalah gerakan satu kaum yang bertujuan untuk memurnikan kembali ajaran agama Islam berdasarkan petunjuk Allah SWT, Nabi Muhammad SAW sebagai utusan serta berdasarkan pemahaman yang para kaum Salafush shaleh yakni orang orang yang terdahulu yang shaleh dan mendapatkan petunjuk dalam urusan agama Islam.[1] Nama Wahhabi atau Wahabi disandarkan kepada nama Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab (1115-1201/1703-1787) yang melakukan usaha yang dianggap sebagai pemurnian agama Islam pada abad ke 18 M (1744 M) di daerah Nejed dan Hijaz yang bekerja sma dengan Pangeran Muhammad bin Sa'ud yang dikenal sebagai pendiri kerjaan Arab Saudi.[2] Dalam keberadaanya, Wahhabi merupakan sebuah sekte yang dominan di Saudi Arabia dan Qathar, pada awal abad ke-19 sekti ini mendapakan tempat di India, Afrika dan sejumlah negeri lainnya.[3] Meskipun demikian, nama Wahhabi bukan berasal dari dalam kelompok ini. Wahhabi adalah sebutan yang digunakan oleh musuh-musuh kelompok ini untuk menakut-nakuti pengikut mereka. Penyebutan ini pun kurang tepat, mengingat bahwa Abdul Wahhab adalah bapaknya Syaikh Muhammad. Sebutan yang tepat seharusnya adalah Muhammadiyyah, seandainya kelompok ini memang menamakan dirinya dengan nama selain salafy. Dalam kalangan mereka sendiri, mereka lebih suka menamakan diri mereka dengan muwahhidun (orang-orang yang mengesakan Tuhan).[4] Namun ini ini jarang digunakan dan berkaitan juga dengan sejumlah sekte lainnya yang tetap bertahan maupun yang telah punah.
Gerakan Wahhabi adalah gerakan Islam paling pertama dalam periode modern[5] yang dikenal degan paradigma yang menganggap kebenaran mereka absolute, idak bersedi menerima kebenran lain, dan cenderung mengajarkan Islam yang kerarab-araban dengan mengabaikan mutan tradisional dari agama Islam.[6]
Gerakan ini banyak dipengaruhi oleh gagasn Ahmad ibn Hanbal dan Ibnu Taimiyah yang disifati oleh Ismail al-Faruqi sebagai "The First and Greatest Muslim Reformer."
Dengan ketokohan Muhammad bn abdul Wahhab, gerakan Wahhabi megnususng tema memurnikan ajaran Islam dari praktek takhayul, bid'ah dan khurafat. Dalam menyebarkan gerakannya, Muhamd bin Wahab menyebarkan gerakan jihad kepada kaum muslimin untuk kembali pada Al-Qur'an dan Sunnah dan menghancurkan segala bentuk praktek keagamaan yang dianggap telah menyimpang dari jaran Islam yang murni dan jernih. Gerakan ini jgua lahir dari kesadaran internal umat Islam akan kemerosotn pengamalan ajran agama dalam kehidupan masyarakat. Prioritas dalam dakwah Muhammad bin Abd al-Wahhab di Jazirah Arabia ialah pada bidang aqidah, untuk menjaga dan melindungi tauhdi dari berbagai bentuk kemusyrikan dan khurafat yang telh mencermari sumbernya dan membuat keruh kejernihannya. Dia menulis berbagai buku dan risalah, serta menyebarkan dan mempraktekkannya dalam rangka menghancurkan berbagai fenomena kesyirikan.
Selain dinamakan Wahhabi, kelompok ini menamakan dirinya dengan istilah Salafy[7] yang penyebutannya berdasarkan pada Salafush Saleh yang seperti diungkapkan di atas adalah kaum terdahulu yang shaleh (baik) dan mendapatkan petunjuk dalam urusan agama. Kaum terdahulu disini adalah berdasarkan jarak terdekat dengan masa kenabian yakni :

- Para Sahabat yakni yang langsung mendapatkan ajaran Nabi.
- Tabi'in yakni generasi sesudah para sahabat.
- Tabiut Tabi'in yakni generasi sesudah para tabiin

Namun demikian, penyebutan salafy di sini adalah tidak terbatas kepada sesuadah para tabi'in tetapi juga bagi kaum muslimin yang mengikuti mereka.
Mengutip pendapat Abdul Rahman Haji Abdullah yang menukil dari pendapatnya Muhammad al-Bahi, sebagai penpat yang boleh dikatakan pendapatnya itu agak berimbang terhadap tujuan gerakan Wahabi sebagai gerakan reformasi bahwa pada dasarnya reformasi Islam itu mempunyai sisi positif dan negatif. Reformasi bukan usaha intelektual untuk menundukkan Islam terhadap pemikiran asing. Ia berbeda dengan gerakan-geraka nkeagamaan yang lain yang bersanadar apologi terhadap Islam atau penyederhanaan ajaran Islam dan mendekatkannya kepada intelelektualisme universal. Ia jgua berbeda dengan usaha-usaha menafsirkan agama secara khusus, yang mengharuskan pemakaian salah satu madzhab fikih atau ilmu kalam. Apa yang dimaksuddengan reformasiadalah usaha mengungkapkan nilai-nilai Islam yang peling essensial dengan menjelaskan hal-hal yang berkaitaan erat degnan Islam yang disalahartikan dan disalahtafsirkan. Reformasi Islam adalah suatu pemikikiran dan sisten berdasarkan kritik konstruktif dan hanaya mengakui satu nilai, yaitu nilai Islam untuk menuntun umat manusia.[8]
Berdasarkan pengertian di atas, inti ajaran wahabi dan salafy sebenarnya adalah sama yakni memberikan klaim bahwa mereka mengamalkan ajaran agama berdasrkan Al-Qur'an dan Hadits menurut pemahaman para Salaf al-Shaâlih tanpa terikat dengan berdasarkan Madzhab terutama mengambil salah satu madzhab tetapi mengambil jarang-ajajaran yang berada dalam madzhab tersebut yang sesuai dengan Al-Qur'an dan Hadits terutama hadits yang derajatnya baik dan tidak ada pertentangan di dalamnya, bahkan dapat dikatakan sebagai usaha untuk kembali kepada dasar ajran Islam sepenuhnya tanpa kompromi.[9] Hal ini sesuai dengan wasiat dari para Imam madzhab yang emapt yakni Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali, yakni, "Apabila ada ajaran atau pendapat yang bertentangan dengan hadits dan sunnah Nabi yang shahig (kuatdan benar), maka ikutilah ajaran hadits tersebut dan buang jauh-jauh pendapatku."

Sejarah dan Perjalanan
Pendiri gerakan Wahhabi ini bernama asli Muhammad bin Abdul Wahab ibn Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad ban al-Marsyari al-Tamimi al-Hanbali al-Najdi. Beliau dilahirkan di kota ‘Uyainah, Nejed lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibu kota Arab Saudi pada tahun 1703 M/1115 H. ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Hanbali yang ahli dalam bidang tafsir, hadits dan fikih.[10] Ia tumbuh dan dibesarkan daslam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah sorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan kakeknya adalah soerang qadhi (Mufti Hakim Agung), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah yagn bersangkutan dengan agama.[11]
Ada pepatah mengatakan, "Buah jatuh tak jauh dari pohonnya." Pepatah itulah barangkali yang persis mengena pada sosok Muhammad bin Abdul Wahab. Sebagaimana biasanya keluarga ulama, maka Muhammad bin Abdul wahab sejak masih kanak-kanak telah didik dengan pendidikan agama, yang diajar sendiri oleh ayahnya, Syaikh Abdul wahab. Berkat bimbingan kedua orangtuanya, ditambah dengan kecerdasan otak dan ketekunannya, Muhammad bin Abdul Wahab berhasil megnhafas Al-Quran 30 juz sebelum berusia sepuluh tahun. Setelah belajar kepada ayahandanya tentang fiqih Hanbali, ia diserhakan oleh orangtuanya kepada para ulama setempat sebelum akhirnya mereka mengirimnya untuk belajar ke luar daerah. Ia belajar hadits dan tafsir kepada para Syaikh dari berbagai negeri, terutama di kota Madinah. Beliau memahami tauhid dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Dalam proses penacarian ilmunya ini, Muhammad bin Abdul Wahab tergolong santri yang cerdas dan cemerlang otaknya. Sulaiman bin Abdul Wahab, saudara kandungnya, menceritakan betapa bangganya Syaikh Abdul Wahab, ayah mereka terhadap kecerdasan Muhammad. Beliau pernah berkata, "Sungguh aku tlah banyak mengmabil manfaat dari ilmu pengetahuan anakku Muhammad, terutama di bidang ilmu fiqih."
Setelah menacapai usia dewasa, Muhammad bin Abdul Wahab diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelimat, mengerjakan haji di Baitullah. Ketika telah selesai menunaikan ibadah haji, ayahnya kembali ke Uyainah sementara Muhammad tetap tinggal di Mekkah selama beberapa waktu dan menimba ilmu di sana. Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama di sana. Di Madinah, ia berguru pada dua orang ulama besar yaitu Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif al-Najdi dan Syaikh Muhammad Hayah al-Sindi, penulis kitab Hasyiah Shahih Bukhari.[12]
Setelah itu, ia banyak mengungjungi negeri-negeri Islam dan terus belajar pada ulama-ulama di tempat yang dikunjunginya. Selama emapt tahun ia tinggal di Bashrah, lima tahun di Baghdad, satu tahun di Kurdistan, dan dua tahun di Hamadan, lalu pergi ke Isfahan. Di Isfahan, ia mempelajari filsafat Isyraqiyah (iluminasi) Suhrawardi dan tasawuf. Ia juga pernah mengunjungi Qum, Iran, lalu kembali ke Saudi. Muhammad pernah menjalani hidup menyendiri (khalwah) tidak berkumpul dengan sesama selama delapan bulan.[13] Setelah itu ia memulai dakwah jarannya.[14]
Dari hasil disertasi pembelajaranya mengarungi ilmu ke berbagai penjuru dunia yang diperolehnya dan hasil dari khalwatnya itu, Muhammad seolah-olah mendapatkan pencerarhan dengan hadirnya suara hati yang paling dalam yang harus disebarkan ke seluruh penjur dunia. Ia mendapatkan keteguhan dan keistiqmahan hati agar selalu berusaha untuk selalu memelihara kemurnian tauhid dari syirik, khurafat dan bid'ah, sebagaimana banyak ia saksikan di Najd dan negeri-negeri lainnya. Demikian juga soal menyucikan dan mengkultuskan kubur, suatu hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.
Ia mendengar banyak wanita di negerinya ber-tawassul dengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata, “Wahai pohon kurma yang paling agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini.”
Di Hejaz, ia melihat pengkultusan kuburan para shahabat, keluarga Nabi, (ahlul bait), serta kuburan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, hal yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan, kecuali kepada Allah semata.
Ketika di Madinah, Ia ia mengira banyak umat Islam di sana yang idak menjalankan syariat dan berbuat syirik, sperti mengunjungi makam Nabi atau makam seorang tokoh agama, lalu memohon sesuatu kepaa kuburan dan penghuninya. Ia juga mendengar permohonan tolong (istighâtsah) kepada Rasulullah Saw., serta berdoa (memohon) kepada selain Allah. Hal ini, menurut dia sungguh sangat bertentangan dengan Al-Quran dan sabda Rasulullah Saw. Al-Quran menegaskan:

“Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah, sebab jika berbuat (yang demikian itu), sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim.”[15]

Zhalim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu kali, Rasulullah Saw. berkata kepada anak pamannya, Abdullah bin Abbas:

Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah.”[16]

Melihat kejanggalan-kejanggalan tersebut, akhirnya Muhammad bin Abdul merasa semakin terdorong untuk memperdalam ilmu ketauhidan yang murni (Aqidah salafiyah). Ia pun berjanji pada dirinya sendiri, akan berjuang dan bertekad untuk mengembalikan aqidah umat Islam di sna sesuai keyakinannya, yaitu kepada akidah Islam yang menurutnya murni (tahid), jauh dari sifat khurafat, takhayul, atau bid'ah. Untuk, ia pun mulai mempelajari berbagai buku yang ditulis para ulama terdahulu.
Setelah beberapa lama menetap di Mekkah dan Madinah, ia kemudian pindah ke Bashrah. Di sii ia bermukim lebih lama, sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehnya, terutama di bidang hadits dan musthalahnya, fiqih dan usul fiqihnya, serta ilmu gramatika (ilmu qawaid). Selain belajar, ia sempat juga berdakwah di kota ini.
Muhammad bin Abdul wahab memulai dakwhnya di Bashrah, tepat di aman kemudian bermukin untuk menntut ilmu ketika itu. Akan ettapi dakwahnya di sana kurang bersinar, Karen menemui banyak rintangan dan halangan dari kalangan para ulama setempat.
Di antara pendukung dakwahnya di kota Bashrah ini ialah seorang ulama yang bernama Syaikh Muhammad al-Majmu'i. tetapi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab bersama pendukungnya medapat tekanan dan ancaman dari sebagian ulama yang dituduhnya seat. Akhirnya beliau meninggalkan Bashrah dan mengembara ke beberapa ngeri Islam untuk menyebarkan ilmu dan pengalamannya.
Setelah beberapa lama, ia lalu kembali ke al-Ihsa menemui gurunya Syaikh Abdullah bin Abd Ltif al-Ihsai untuk mendalami beberapa bidang pengajian tertentu yang selama ini belum sempat dipelajarinya. Di sana beliau bermukim untuk beberapa waktu, dan kemudian ia kembali ke kampong asalnya uyainah.
Pada tahun 1139 H/1726 M, ayahnya berpindah dari Uyainah ke Huraymillah dan dia ikut serta sekaligus  belajar bersama ayahnya. Dalam proses belajarnya pada ayahnya ini sedikit demi sedikit ternyata ideologi antara dirinya dan ayahnya ini mulai ada pertentangan yang agak kurang sreg menurut kayakinannya selama ia belajar ilmu tahuhid dan hadits dari berbagai ulama serta menyaksikan fenomena di luar sana, terutama di Najd, di mana banyak orang yang masih melakukan perbuatan syirik, takhyul, khurafat, dan bid'ah, yang menurutnya tidak sesuai dengan nilai-nilai Islam. Hal inilah yang menyebabkan adanay pertentangan dan perselisihan yang hebat antara dirinya dan ayahnya serta penduduk-penduduk Najd, yang notabenenya sebagai pengikut sekaligus pengagum ayahnya itu. Keadaan tersebut terus berlanjut hngga sampai ayahnya meninggal dunia pada tahun 1153 H/1740 M
Pada masa selanjutnya, Muhammab bin Abdul Wahab menetap di Hijaz. Ketika ia menetap di Hijaz dan pengembaraannya ke berbagai Negara sekitar Saudi, Muhammad bin Abdul Wahab menyaksikan dan berpendapat bahwa jaran tauhid yang menjadi keistimewaan paling istimewa dari ajaran Islam telah terkontaminasi dan teracuni oleh unsur-unsur takhayul, khurafat dan bid'ah.[17]
Karena itu, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaummnya kepada tauhid dan berdoa (memohon) kepada Allah semata, sebab Dialah Yang Mahakuasa dan Yang Maha Menciptakan, sedangkan selainNya adalah lemah dan tak kuasa menolak bahaya dari dirinya dan dari orang lain. Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang shalih), adalah dengan mengikuti amal shalihnya, tidak dengan menjadikannya perantara antara manusia dengan Allah, dan juga tidak menjadikannya sebagai tempat bermohon selain daripada Allah.
Tauhdi pada dasarnya adalah percaya bahwa hanya Allah semata pencipta alam seisinya, yang menguasai, dan yang meletakkan aturan-aturan pada alam itu. Makhluk apapun tiada yang bersekutu dalam penciptaan dan peraturan, dan tidak ada makhluk apapun yang membantu mengurus masalah-masalah-Nya, karena Alalh secuilpun tidak membutuhkan bantuan dari makhluk-Nya.[18] Maka makna kalimat syahadti "Lâ ilâha illâ Allâh" adalah tidak ada yang patut disembah dan dimintai pertolongan hanya Allah semata. Hal itu adalah hal pokok yang dijelaskan oleh Al-Qur'an. Tiada diperkenankan sedikitpun penyembahan dan permintaan tolong pada sesama makhluk, sebagaimana yang dituntun oleh Al-Qur'an:

"Katakanlah: "Hai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).[19]

Masalah lainnya, bagi Muhammad bin Abdul Wahhaab akidah adalah hanya Allah sendiri yang menetapkan masalah akidah. Dia sendiri yagn menetapkan kehalalan dan kehraman, tiada kata-kata makhluk apapun yang bias menjadi dalil bagi agama, kecuali sabda Nabi Muhammad Saw. Perkataan ahli ilmu kalam dalam akidah dan perkataan ahli fiqih dalam hokum sama sekali bukanlah menjadi dalil pengganti Al-Qur'an dan Sunnah.[20] Siapa saja yang mempunyai ilmu maka dapat berijtihad, sesuaidengan pengeriannya terhadap nash Al-kitab dan Hadits. Mengunci pintu ijtihad merupakan malapetaka bagi umat Islam Karen hal itu membeangus kepribadian dan kekuatan untuk memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam.[21]
Masalah tauhdi dan aidah yang disalahartikan dan disalahtafsirkan nilah yang menyebabkan umat Islam dan terjatuh martabatnya. Pada mulanya masalah tauhid dan akidah Islam bersih dari campur tangan syirik. Pengamalan terhadap kalimat syahadt mengangkat harkat umat Islam lebih tinggi dibading dengan penganut paham keagamaan lain. Menutut Muhammad bin Abdul Wahhab tauhid akidah itulah yang menjadi titik sentral ajaran agama Islam yang mampu membawa umat manusia dari kegelapannya menuju masyarakat yang madani, berperadaban. Apabila tauhid dan akidahnya baik maka semua hal akan baik dan apabila tauhid dan akidahnya rusak maka semua hal akan rusak pula

Awal Pergerakan.
Melihat keadaan umat Islam yang menurutnya melanggar akidah, ia mulai merencanakan untuk menyususun sebuah barisan ahli tauhid (muwahhidun) yang diyakininya sebagai gearkan memurnikan dan mengambalikan akidah Islam. Oleh lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahhabiah.[22]
Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan Muhammad bin Abdul Wahab bahkan beliau berjanji akan menolong dan mendukung pejuagan tersebut.
Berita tentang pergerakan ini akhirnya tersebar lus di kalangan masyarakat Uyainah maupun di luar Uyainah. Muhammad bin Abdul Wahab kemudian pergi ke negeri Dari'iyah.

Muhammad bin Abdul Wahab di Dar'iyah
Peraturan di Dar'iyah ketika itu mengharuskan setiap pendatang melaporkan diri kepda pihak yang berkuasa setempat, mka pergilah Muhammad bn Sulaim menemui Amir Muhamad untuk melaporkan kedatangan Muhamad bin Abdul Wahab yang baru tiba dari Uyainah serta menjelaskan maksud dan tujuannya kepadanya. Namun mereka gagal menemui Amir Muhammad yang saat itu tidak ada di rumah, mereka pun menyampaikan pesan kepada Amir melalu istrinya.
Nama Muhammad bn bdul Wahab dengan ajaran-ajarannya sudah begitu terdengar di kalangan masyarakat, baik di dalam negeri Dar'iya maupun di negeri-negeri tetangga. Masyarakat luar Dar'iyah pun berduyun-duyun dating ke Dar'iyah untuk menetap dan tingga di negeri ini, sehingga negeri Dar'iyah penuh sesak denagn kaum muhajirin dari seluruh pelosok tanah Arab. Muhammad bin Abdul Wahab pun menjadi terasbagi rencana perjuangan beliau, yaitu bidang pengajian Aqaid Al-Qur'an, tafsir, fiqih, ushul fiqh, hadits, musthalah al-hadits, gramtiknya dan lain-lain.
Dalam waktu yang cukup singkat saja, Dari'yah telah menjadi kiblat ilmu dan kota pelajar penuntt Islam. Para penuntut ilmu, tua dan muda, berduyun-duyun dating ke negeri ini. Di samping pendidikan formal (madrasah), diadakan juga dakwah yang bersifat terbuka untuk semua lapisan masyarakat umum. Gema dakwah Muhammad bin Abdul Wahab begitu membahana di seluruh pelosok Dari'yah dan negeri-negeri jiran yang lian. Kemudian, Syaikh mulai menegakkan jihad, menulis surat-surat dakwanya kepada tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung dengan barisan muwahhidun yang dipimpin beliau sendiri. Hal ini dalam rangka pergerakan pembaharuan tauhid demi membasmi syirik, bid'ah dan khurafat di negeri mereka masing-masing. Untuk langkah awal pergerakan itu, beliau memulai di negeri Najd. Beliau pun mulai mengiri surat-suratnya kepada ulama-ulama dan penguasa-penguasa di sana.

Berdakwah Melalui Surat-menyurat
Muhammad bin Abdul Wahab menempuh pelbagai maacm dan cara dalam menyampaikan dakwahnya, sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadpinya. Di samping berdakwah melalui lisan, Muhammad bin Abdul wahab juga tidak mengabaikan dakwah dengan menggunakan pena dan pada saatnya juga jika perlu, berdakwah dengan (besi) pedang.
Maka Muhammad bin Abdul Wahab mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para umaranya, yang pada saat itu adalah Dahkan bin Dawwas. Surat-surat itu dikirmkannya juga kepada para ulama dan penguasa-penguasa. Muhammad bin Abdul Wahab terus mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke seluruh penjuru Arab, baik yang dekat ataupun yang jauh. Di dalam surat-surat itu, Muhammad bin Abdul Wahab menjelaskan tentang bahaya syirik yang mengancam negeri-negeri Islam di seluruh dunia, juga bahaya bid'ah, khurafat dan takhayul.
Bukanlah berarti bahwa ketika itu tidak ada lagi perhatian para ulama Islam setempat kepada agama ini, sehingga seolah-olah bagaikan tidak ada lagi yang memperhatikan masalah agama. Akan tetapi, yang sedang dibicarakan di sini adalah masalah negeri Najd dan sekitarnya.
Barangkali dapat dimaklumi kenapa Syaikh Abdul Wahab memprioritaskan dakwahnya di daerah Najd, tidak menutup kemungkinan beliau terinspirasi oleh hadits berikut ini:

 “Ya Allah, berilah keberkahan kepada kami di negeri Syam, dan di negeri Yaman. Mereka berkata, ‘Dan di negeri Najd.’ Rasulullah berkata, ‘Di sana (Najd) banyak terjadi berbagai kegoncangan dan fitnah, dan di sana (tempat) munculnya para pengikut syetan.”[23]
Ibnu Hajar Al-'Asqalani dan ulama lainnya menyebutkan, yang dimaksud Najd dalam hadits di atas adalah Najd Iraq. Hal itu terbukti dengan banyaknya fitnah yang terjadi di sana. Kota yang juga di situ Al-Husain bin Ali ra. dibunuh.
Hal ini berbeda dengan anggapan sebagian orang, bahwa yang dimaksud dengan Najd adalah Hijaz, kota yang tidak pernah tampak di dalamnya fitnah sebagaimana yang terjadi di Iraq. Bahkan sebaliknya, yang tampak di Najd Hijaz adalah tauhid, yang karenanya Allah menciptakan alam, dan karenanya pula Allah mengutus para Rasul.
Berkat hubungan sura menyurat Muhammad bin Abdul Wahab terhadap para ulama dan umar dalam dan luar negeri, telah menambahkan kemasyhuran nama Muhammad bin Abdul Wahab, sehingga beliau disegani di antara kawan dan lawannya, hingga jaungakauan dakwahnya semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti di India, Indonesia, Pakstan, Afghanistan, Afrika Utara, Maghribi, Mesir, Syiria, Iraq, dan lain-lain.
Memang cukup banyak para da'i dan ulama di negeri-negeri tersebut tetapi pada waktu itu kebanyakan di antara mereka yang kehilangan arah, meskipun mereka memiliki ilmu-ilmu yang cukup memadai.
Dengan demikian, jadilah Dar'iyah sebagai pusat penyebaran dakwah kaum muwahhidun (gerakan pemurnian tauhid) oleh Muhammad bin Abdul Wahhab yang didukung oleh penguasa Amir Ibnu Saud. Kemudian murid-murid keluaran dari Dar'iyah menyebarkan ajaran-ajaran tauhid murni ini ke seluruh pelosok negeri dengan cara membuka sekolah-sekolah di daerah-daerah mereka.
Untuk mencapai tujuan pemurnian ajaran agama Islam, Muhammad bin Abdul Wahab telah menempuh pelbagai macam cara. Kadangkala lembut dan kadangkala kasar, sesuai dengan sifat orang yang dihadapinya. Muhammad bin Abdul Wahab mendapat pertentangan and perlawanan dari kelompok yang idak menyenanginya karena sikapnya yang tegas dan tanpa kompromi, sehingga lawan-lawannya membuat tuduhan-tuduhan ataupun pelbagai fitnah terhadap dirinya dan pengikut-pengikutnya.
Dalam pembelaannya, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu mengatakan para ahli bid'ah menentang keras dakwah tauhid yang dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Ini tidak mengherankan, sebab musuh-musuh tauhid telah ada sejak zaman Rasulullah Saw. Bahkan mereka merasa heran terhadap dakwah kepada tauhid. Allah berfirman:

Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.”[24]

Musuh-musuh Syaikh memulai perbuatan kejinya dengan memerangi dan menyebarluaskan berita-berita bohong tentangnya. Bahkan mereka bersekongkol untuk membunuhnya dengan maksud agar dakwahnya terputus dan tak berkelanjutan. Tetapi Allah Sw menjaganya dan memberinya penolong sehingga dakwah tauhid tersebar luas di Hejaz, dan di negara-negara Islam lainnya.
Meskipun demikian, hingga saat ini, masih ada pula sebagian manusia yang menyebarluaskan berita-berita bohong. Misalnya, mereka mengatakan dia (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) adalah pembuat madzhab yang kelima, padahal dia adalah seorang penganut madzhab Hanbali. Sebagian mereka mengatakan, orang-orang wahabi tidak mencintai Rasulullah Saw. serta tidak bershalawat di atasnya. Mereka anti bacaan shalawat.
Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab - rahimahullah- telah menulis kitab Mukhtashar Sîratur Rasul shalallahu 'alaihi wasallam. Kitab ini bukti sejarah atas kecintaan Syaikh kepada Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Mereka mengada-adakan berbagai cerita dusta tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, suatu hal yang karenanya mereka bakal dihisab pada hari Kiamat.
Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Quran, hadits dan ucapan shahabat sebagai rujukannya.
Seseorang yang dapat dipercaya memberitahukan kepada penulis, bahwa ada salah seorang ulama yang memperingatkan dalam pengajian-pengajiannya dari ajaran Wahabi. Suatu hari, salah seorang dari hadirin memberinya sebuah kitab karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sebelum diberikan, ia hilangkan terlebih dahulu nama pengarangnya. Ulama itu membaca kitab tersebut dan amat kagum dengan kandungannya. Setelah mengetahui siapa penulis buku yang dibaca, mulailah ia memuji Muhammad bin Abdul Wahab.
Meskipun beliau banyak yang menentang, namun tetap saja ada sebagian ulama yang adil dengan menyebutkan bahwa sesungguhnya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah salah seorang mujaddid (pembaharu) abad dua belas Hijriyah.
Mereka menulis buku-buku tentang beliau. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Syaikh adalah Syaikh Ali Thanthawi. Beliau menulis buku tentang “Silsilah Tokoh-Tokoh Sejarah,” di atanra mereka terdapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan Ahmad bin ‘Irfan.
Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, aqidah tauhid sampai ke India dan negeri-negeri lainnya melalui jama'ah haji dari kaum muslimin yang terpengaruh dakwah tauhid di kota Makkah. Karena itu, kompeni Inggris yang menjajah India ketika itu, bersama-sama dengan musuh-musuh Islam memerangi aqidah tauhid tersebut. Hal itu dilakukan, karena mereka mengetahui bahwa aqidah tauhid akan menyatukan umat Islam dalam melawan mereka.
Selanjutnya mereka mengomando kepada kaum Murtaziqah (orang-orang bayaran) agar mencemarkan nama baik dakwah kepada tauhid. Maka mereka pun menuduh setiap muwahhid yang menyeru kepada tauhid dengan kata Wahabi. Kata itu mereka maksudkan sebagai padanan dari tukang bid'ah sehingga memalingkan umat Islam dari aqidah tauhid yang menyeru agar umat manusia berdoa hanya semata-mata kepada Allah. Orang-orang bodoh itu tidak mengetahui bahwa kata wahabi adalah nisbat kepada Al-Wahhaab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari Nama-nama Allah yang paling baik (Asma'ul Husna) yang memberikan kepadanya tauhid dan menjanjikananya masuk Surga.
Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab, menulis dalam risalahnya sebagai ringkasan dari beberapa hasil karya ayahnya, Syaikh Ibnu Abdul Wahab, bahwa madzhab gerakan Muhammad bin Abdul Wahab dalam ushuludin (Tauhid) adalah madzhab Ahlu al-Sunnah wa al-Jama'ah, dan cara (sistim) pemahamannya adalah mengikuti cara ulama salaf. Sedangkan dalam hal masalah furu' (fiqih) lebih cenderung mengikuti madzhab Ahmad bin Hanbal. Muhammad bn Abdul Wahab tidak pernah mengingkari (melarang) seseorang bermadzhab dengan salah satu dari madzhab yang empat, dan tidak memnyetujui seseorang bermadzhab kepada madzhab yang lain di luar dari madzhab emapt tersebut, seperti madzhab Rafidhah, Zaidiyah, Imamiyah dan lain-lain lagi. Ia tidak membenarkan mereka mengikuti madzhab-madzhab yang batil.  Mlah Muhammad bin Abdul Wahab memaksa mereka agar bertaklid kepada salah satu dari madzhab emapt tersebut. Muhammad bin Abdul Wahab tidak pernah sama sekali mengaku bahwa ia sudah sampai ke tingkat mujtahid mutlak, juga tidak seorang pun di antara para pengikut Muhammad bin Abdul Wahab yang berani mendakwakan dirinya dengan demikian. Hanya ada beberapa masalah yagn kalau dilihat di sana ada nash yang jelas, baik dari Al-Qur'an maupun Sunnah, dan setelah diperiksa dengan teliti tidak ada yang menasakhkannya, atau yang mentashkhikhkannya atau yang menentangnya, lebih kuat daripadanya serta dipegengi pula oleh salah seorang Imam empat, maka ia mengambilnya dan meninggalkan madzhabyang ia anut, seperti dalam masalah warisan yang menyangkut dengan kakek dan saudara lelaki. Dalam hal ini Muhammad bin Abdul Wahab berpendirian mendahulukan kake, meskipun menyalahi madzhab Hanbali.[25]
Muhammad bin Abdul Wahab beritkad bahwa seseorang yang mengerjakan dosa besar, seperti melakuan pembunuhan terhadap seseroang Muslim tanpa alas an yang wajar, begitu juga seperti  berzina, riba dan minum arak, meskipun berulang-ulang, maka orang itu hukumnya tidaklah keluar dari Islam (murtad), dan tidak kekal dalam neraka, apabila ia tetap bertauhid kepada Allah dalam semua ibadahnya.[26]
Khusus tentang Nabi Muhammad Saw, Muhamad bin Abdul Wahab berkata bahwa apapun yang terlah diyakini terhadap martabat Muhamad Saw. bahwa martabat beliau itu adalah setinggi-tinggi martabat makhluk secara mutlak. Dan beliau itu hidup did lam kuburnya dalam keadaan yang lebih daripada kehdiupan para syuhada yang telah digariskan dalam Al-Qur'an. Karena Beliau itu lebih utama dari mereka, dengan tidak diragukan lagi. Bahwa Rasulullah Saw. mendengar salam orang yang mengucapkan shalawat kepadanya. Dan adalah sunnah berziarah kepada kuburnya, kecuali jika semata-mata dari jauh hanya datang untuk berziarah ke makamnya. Namun sunnah juga berziara ke masjid Nabi dan melakuakn shalat di dalamnya, kemudian berziarah ke makamnya. Dan barangsiapa yang menggunakan waktunya yang berharga untuk membaca shalawat kepada Nabi, shalawat tyang datang, maka ia akan mendapatkan kebahagiaan dan akhirat.[27]

Wafatnya
Muhammad bin Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar'iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengna kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penrangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhamamad bin Abudl Wahab berdakwah sampai usia 92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1790 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dari'yah (Najd).

Ajaran Teologi Wahabi
Ajaran teologi Wahabi sebagai bagian dari sebuah gerakan lanjutan dari pemurnia akan ajaran Islam dapat ditelusuri ajrang teolginya berdasrkan "Guru Pertama" gerakan salafi, yaitu Imam Ahmad bin Hanbal. Ahmad bin Hanbal adalah sosok pemuka hadits hang memiliki karya terkenal, yaitu kitab "Musnad." Selain sebagai pendiri madzhab Hanbali, ia juga sebagai pribadi yang menggalakkan ajaran kembali kepada pemikiran Salaf Shaleh yagn kemudian dikembangkan oleh Ibnu Taimiyah dan mencapai puncaknya pada gerakan yang dimpimpin Muhamad bin Abdul Wahab. Secara umum, metode yang dipakai oleh Ahmad bin Hanbal dalam pemikiran akidah dan hokum fiqih, adalah menggunakan metode tekstual. Oleh karenanya, ia sangat kerassekali dalam menentang keikutsertaan dan penggunaan akal dalam memahami ajaran agama. Ia beranggapan, kemunculan pemikiran logika, filsafat, ilmu kalam (teologi) dan ajaran-ajaran lain yang dianggap ajaran di luar Islam yang kemudian diadopsi oleh sebagian Muslim akan membahayakan nasib teks-teks agama.[28] Dari situ, akhirnya ia menyeruakn untuk berpegang teguh terhadap teks, dan mengingkari secara total penggunakan akal dalam memahami agama termasuk proses takwil rasional terhadap teks.[29]
Suatu saat, datang seseorang kepada Ahmad bin Hanbal. Kemudian ia bertanya tentang beberapa hadits. Hingga akhirnya petanyaannya sampai pada hadits-hadits seperti, "Tuhan pada setiap turun ke langit dunia," "Tuhan bisa dilihat," "Tuhan meletakkan kaki-Nya ke dalam neraka," dan hadits-hadits yang serupa itu. Lantas Ahmad bin Hanbal menjawab, "Kita meyakini semua hadits-hadits tersebut. Kita membenarkan semua hadits tadi, tanpa perlu terhadap proses pentakwilan."

Asma dan Sifat Allah
Kaum Wahabi berpendapat juga bahwa makna tauhid terhadapa asma dan sifat Alalh yaitu dengan beriman kepada nama-nama Allah dan sifat-sifat-ya sebagaimana yang deterangkan dalam Al-Qur'an dan Hadits, menutur apa yang pantas bagi Allah tanpa takwil, ta'til, takhyif, dan tamtsil. Hal ini berdasarkan firman Allah Swt.:

"Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia dan Dialah Yang Maha mendengar lagi Maha Melihat."[30]

Allah menafikan jika ada sesuatu yang menyerupai-Nya, dasn Dia menetapkan bahwa Dia adalah Maha Mendengar dan Maha Melihat. Maka Dia diberi nama dan disifati dengan nama dan sifat yang Dia berikan untuk diri-Nya dan dengan nama dan sifat yang disampaikan oleh Rasul-Nya.[31]
Kita mengetahui bahwa apa yang Allah sifatkan untuk Diri-Nya adalah Hq (benar), tidak mengandung teka-teki dan tidak untuk ditebak. Atau dengan kata lain, maknanya sudah dimengeri, sebagaimana maksud orang yang berbicara juga dimengerti dari pembicaraannya. Dan sekalipun demikian tidakalah da sesuatu pun yang menyerupai Alalh. Tidak ada dalam diri Dzat-Nya Yang Mahasuci yang disebut dalam asma dan sifat-Nya, juga tidak dalam perbuatann-Nya. Sebagaimana yang diyakini bahwa Alalh mempunyai Dzat, juga af'al (perbuatan), maka begitu pula Dia benar-benar mempunyai sifat-sifat, tetapi tidak satupun yang menyamai-Nya, juga tidak adslam perbuatan-Nya. Setiap yang mengharuskan adanya kekurangan dan huduts, maka Alalh benar-benar bebas dan Mahasuci dari hal tersebut.
Sesungguhnya Alalh adalah yang memiliki kesempurnaan yagn paripurna, tidak ada batas di aas-Nya. Dan mustahil bagi-Nya mengalami huduts,[32] karena mustahil bagi-Nya sifat adam (tidak ada); sebab huduts mengharuskan adanya sifat adam sebelumnya, dank arena sesuatu yang baru pasti memerlukan muhdits (yang mengadakan); juga karena Alalh bersifat wajib al-wujud binafsihi (wajib ada dengan sendiri-Nya).[33]
Aliran Wahabi dalam hal ini berprinsip antara ta'thil dan tamtsil. Mereka tidak menyamakan atau menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Sebagaimana mereka tidak menyerupakan Dzat-Nya dengan dzat pada makhluk-Nya, atau apa yagn disifatkan oleh Rasul-Nya. Seandainya menafikan berarti telah menghilangkan al-asmâ' al-husnâ dan sifat-sifat-Nya yang luhur, mengubah kalam dari tempat yang sebenarnya dan mengingkari asma Allah dan ayat-ayat-Nya.
Menurut Wahabi, sifat-sifat Allah terbagi menjadi dua bagian, yaitu:
1. Sifat Dzatiyah, yakni sifat yang senantiasa melekat dengan-Nya. Sifat ini tidak terpisah dari Dzat-Nya. Seperti: Al-'Ilm (ilmu), Al-Qudrah (kekuasaan), Al-Sam'u (mendengar), Al-Bashar (melihat), Al-Izzah (kemuliaan), Al-Hikmah (hikmah), Al-'Uluwwu (ketinggian), Al-A'dzam (keagungan), Al-Wajhu (wajah), Al-Yadayn (dua tangan), Al-Ainain (dua mata).
2. Sifat Fi'liyah, yakni sifat yang Dia perbuat jika berkehendak. Seperti bersemayam di atas 'Arsy; turun ke langit, ke dunia, ketika sepertiga malam akhir dari malam; dan datang pada hari kiamat.[34]
Kaum Wahabi juga memegang prinsip untuk iqrar (menetapkannya) dasn imrar (membiarkan apa adanya).[35]
Seandainyamakna lahir nash-nash tentang sifat-sifat dan asma itu bukan yang dimaksud dan ia wajib ditakwilkan, tentu Alalh dan Rasul-Nya telah berbicara kepada manusia. Hal ini adalah mustahil bagi Alalh karena kalau Alalh dan kalam Rasul Muhammad Saw. adalah ucapan yang sangat jelas, gambling dan berisi petunjuk.
Kesamaan nama-nama Alalh dan sifat-sifat-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat makhluk-Nya dalam bahasa itdka mengharuskan kesamaan atau penyerupaan dalam hakikat atau kaifiyat (cara). Allah memiliki sifat-sifat yang khusus dan sesuai dengan kepantasannya. Hal ini tidak mengharuskan kesaman atau penyerupaan. Bahkan antar makhluk pun tidak harus sama.
Sesungguhnya, hukum asal dalam nash-nash sifat adalah makna lahirnya (makna aslinya), terkecuali jika terpenuhi empat syarat berikut:
1. Menetapkan kemungkinan lafadz mengandung makna yang akan ditakwilkan kepadanya.
2. Menegakkan dalil yang memalingkan lafadz dari lahirnya kepada makna yang mungkin dikandngnya, yakni makna yang menyalahi lahirnya.
3. Menjawab dalil-dalil yang bertentangan dengan dalil-dalil di atas (pin 1, 2, 3).
4. Rasulullah Saw. tidak pernah me-majaz-kan (mengkiaskan) makna nash-nash sifat tersebut.[36]


Tata cara pengambilan dalil dalam ajaran Wahhabi
Dalam pelaksanaan ajaran agama, kaum wahabi atau salafy mengambil dalil hukum syariat berdasarkan:
Al Qur'an yang merupakan firman Allah dan kitab suci kaum muslimin.
Hadits yang berisi sunnah yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Ijma' yakni kesepakatan para ulama kaum muslimin yang tidak ada pertentangan di dalamnya dan tidak menyelisihi Al Qur'an dan Hadits.
Qiyas atau analogi yakni pengambilan hukum suatu kasus berdasarkan hukum kasus yang lain yang terdapat kesamaan ciri dan sebab didalamnya bila tidak ada hukum yang khusus yang membahas secara tersendiri.
Pengambilan hokum-hukum ini berlaku baik dalam masalah Aqidah atau keyakinan serta masalah Muammalah atau hubungan sosial interaksi antar manusia. Sehingga benar benar murni dan menghindari bid'ah yakni segala sesuatu yang baru dalam ajaran agama yang menyelisihi apa-apa yang diajarkan oleh Allah SWT, Nabi Muhammad Saw dan pemahaman Salafush shaleh. Sementara dalam masalah dunia, ajaran wahhabi atau salafy adalah mengambil manfaat dari kemajuan perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan ummat manusia dan tidak membahayakan di dalamnya sebagai sarana beribadah dan muammalah bagi manusia. Namun untuk hukum-hukum muammalah, karena masalah interaksi sosial berkembang sesuai dengan perkembangan zaman, maka tata caranya adalah berdasarkan empat ketentuan diatas serta ditinjau dari segala sisi dalam kegiatan muamalah agar menghindari hal hal yang syubhat yakni yang tidak jelas antara yang dihalalkan (dibolehkan dalam ajaran agama) maupun yang diharamkan (yang dilarang dalam ajaran agama).
Mereka mendefinisikan tata cara pengambilan dalil ini sebagai kaidah Ahlu Sunnah wal Jamaah. Kata Ahlu Sunnah berarti adalah orang orang yang mengikuti sunnah atau tata cara yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw yang merupakan utusan Allah Swt . Sementara Jamaah disini adalah jamaah kaum muslimin yang merupakan satu jamaah yang sama sama mengikuti sunnah nabi meskipun pada zaman dan kurun waktu yang berbeda.



[1] Dalam Hadits yang shahih, Nabi Muhammad Saw. bersabda yang maknanya "Akan ada pada setiap zaman kaum yang berusaha memurnikan ajaran agama Islam". Usaha pemurnian ajaran agama Islam ini benar benar dilaksanakan oleh Nabi Muhammad Saw. serta para Sahabatnya dilanjutkan oleh pengikutnya, kaum tabi'in dan tabiut tabi'in. Dalam periode selanjutnya dikenal ulama-ulama yang berusaha untuk memurnikan kembali ajaran agama Islam diantaranya adalah para penulis hadits diantaranya Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, kemudian para ulama seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnu Qayyim, Syaikh Abdul Qadir Jailani dan terus dilanjutkan sampai pada masa kini diantaranya oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani dan Syaikh Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz dan dimasa yang akan dating. Lihat Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan Islam Studi tentang Fundamentalisme Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 185 .
[2] Azyumardi Azra, Fenomena Fundamentaslime dalam Islam: Survei Historis dan Doktrinal, Jurnal Ulumul Qur'an, Nomor 3, Vol. IV, Th. 1993, h. 7.
[3] Cyril Glasses, Ensiklopedi Islam (Ringkas),  (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada), h.425-426
[4] Istilah Wahabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal-usul dan kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam umumnya terkeliru dengan mereka Karen menduga madzhab mereka menuruti pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan alirannya, all-anbaliyyah atau al-Hanabilah yang merupakan salah satu madzhab dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah. Nama Wahhabai atau al-Wahhwabiyyah kelihatan dihubngkan kepada nama 'Abd al-Wahhab, yaitu  bapak kepada penggagasnya, al-Syaikh Muhammad bin 'Abd al-Wahhab al-Najd. Bagaimanapun, nama Wahhabi dikatakan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun (Unitarians) karena mereka ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhdi ke dalam Islam dan kehidupan murni menurut sunnah Rasulullah.
[5] Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di Timur Tengah, (Jakarta: Djambatan, 1995), hal. 5. Selanjutnya dibaca: Mukti Ali.
[6] Ismail Faruqi, Islam, (iles: Argus Communication, 1979, hal. 78.
[7] Jika diliat dari sisi bahasa, Salaf berarti yang telah lalu. Sdangkan dari sisi istilah, salahf ditterapkan untuk para sahabat Nabi, tabi'in dan tabi'i a-tabi'in yan hidup di abad-abadi permulaan kemunculan Islam. Jadi, salafi adalah kelompok yan mengaku sbagai pengikut pemuka agama yang hidup di masa lalu dari kalgnan para sahabat, tabi'in dan tabi'i al-tabi'in. baik yang berkatiatan dengan akidah, syariat dan perilaku keagaman. Bahkan sebagian menambahkan bahwa salaf mencakup para imam mazhab, sehingga salfi adalah tergolong pengikut mereka dari sisi semua keyakinan keagamaannya. Muhammad Abu Zuhrah menyatakan bahwa salafi adalh kelompok yang muncul pada abad keempat H, yang mengikuti Imam Ahmad bin Hambal. Kemudian pada abad ketujuh H., dihidupkan kembali oleh Ibnu Taymiyah.
[8] Mukti Ali, hal. 6.
[9] Sufyan Radji Abdullah, Mengenal Aliran-aliran dalam Islam dan Ciri-ciri Ajarannya, (Jakarata: Pustaka Al-Riyadl, 2006), hal. 153
[10] Abdul Qadir & Bacrum Bunyamin dalam kata pengantar buku Imam Abdul Wahab, Kitab Tauhid, (Bandung: Pustaka, cet. II), hal. 1994. Selanjutnya dibaca: Imam Abdul Wahab
[11] Imam Abdul Wahab, hal. 153
[12] Mukti Ali, hal, 44
[13] Khalwat atau menyendiri yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab ini boleh dibilang hampir semua ulama yang mengalami bersentuhan dengan dunia tasawuf, pernah melakukan laku khalwat ini. Seperti halnya pernah dilakukan oleh Al-Ghazali dalam pencarian diri sejatinya dalam menemukan Tuhan. Begitu pula yang pernah dilakukan oleh Mulla Shdra, sufi sekaligus filosuf Hikmah al-Muta'alliyah, dari Iran, melakukan khalwat selama 15 tahun. Begitu pula Ibn 'Arabi, pelopor paham Wihdat al-Wujud, pernah khalwat selama sembilan bulan.
[14] Imam Abdul Wahab, hal. 43
[15] QS Yunus [10]: 106
[16] HR. At-Tirmidzi, ia berkata hasan shahih
[17] Imam Abdul Wahab, hal. 46
[18] Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, KItab Tauhid, jilid I (terj.) Agus Hasn Bashori, (Jakarata: Darul Haq, 2006), hal. 19. Abdullahb bin Muhammad bin Abdul Wahab, Shiyanah al-Insan, hal. 474. Selanjutnya dibaca: Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab.
[19] QS. Al-Imran [3]: 64
[20] Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, hal. 7
[21] Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan , hal. 46
[22] Di Indonesia ajaran Wahabiyah telah mengilhami KH. Ahmad Dahlan untuk mendirikan organisasi Muhammadiyah pda tahun 1920-an. Muhammadiyah didirikan dengan menursung slogan untuk memberantas takhayul, bid'ah dan khurafat.
[23] HR. Al-Bukhari dan Muslim
[24] QS. Shaad [38]: 5
[25] Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab, Shiyanah al-Insan, hal. 474. selanjutnya dibaca: Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab
[26] Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab, hal. 475.
[27] Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahab, hal. 475
[28] Fazlur Rahman, Gelombang Perubahan dalam Studi tentang Fundamentalisme Islam, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), hal. 194.
[29] Ia beranggapan, bahwa metode itulah yang dipakai salaf Shaleh dalam memahami agama, dan metode tersebut tidak bias diganggu gugat kebenaran dan legalitasnya. Syahrastani yang bermadzhab 'Asy'ariyah dalam kitab "Al-Mlal wa al-Nihal" sewaktu menukil ungkapan Ahmad bn Hanbal yang menyatakan, "Kita telah meriwayatkan (hadis) sebagaimana adanya, dan hal (sebagiaman adanya) itu pula ang kita yakini." Konsekuensidariungkapan Ahmad bin Hanbal di atas itula, akhirnya ia beserta banyak penikutya –termasuk Muhammad bin Abdul Wahab –terjebak ke dalam jurang kejumudan dan kaku dalam memahami teks agama. Salah satu dampak konkrit dari metode diatas tadi adalah, keyakinan akan tajsim (anthropomorphisme) dan tasybih dalam konsep ketuhanan. Lihat al-syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, jilid I, hal 165
[30] QS. Al-Syura [42]: 11
[31] Aburrahman Hasan Alu Al-Syaikh, Fathul Madjid Syarah kitab Tauhid, ( (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), hal. 758
[32] Huduts artinya baru. Baru adalah perkara yan dulunya tidak ada kemudian menjadi ada. Huduts lawan kata dari qidam.
[33] Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, hal.97-100,
[34] Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, hal. 106
[35] Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, hal. 131
[36] Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan, hal. 133-134

1 komentar: